MEMBANGUN OPTIMISME TENTANG LOKALITAS

Gagasan otonomi daerah dalam beberapa hal masih memiliki banyak kelemahan. Terutama dalam hal implementasi kebijakan yang telah sampai pada level teknis strategis maupun yang masih berupa gagasan konseptual. Pada tahapan gagasan, lewat beberapa pembahasan dalam kajian akademis, masih banyak distorsi yang muncul antara akar yang akan dijadikan focus pembahasan, dengan realita yang berkembang di lapangan. Pola hubungan kelembagaan maupun pola hubungan antar elemen dalam masyarakat yang terjadi dalam sebuah masyarakat adalah salah satu contoh permasalahan yang paling mungkin terjadi. Dalam pelaksanaannya, ternyata kebijakan yang disusun belum sepenuhnya mengakomodasikan pola hubungan yang ada. Sebagai akibatnya, gagasan besar otonomi daerah tersebut disalahartikan dan dimanfaatkan untuk kepentingan golongan. Lebih parah lagi adalah kepentingan individu.
Aspek-aspek lokal, seperti struktur social dengan berbagai unsur penyusunnya seperti tata nilai yang diakui dalam mayarakat, pola hubungan dan pola manajemen yang digunakan dalam masyarakat, dan banyak hal yang lain, yang antara satu masyarakat dan masyarakat yang lain sangat berlainan. Apalagi dengan sebuah fakta nyata bahwa ibu pertiwi ini telah mengandungnya dari awal mula sejarah bangsa ini tertulis.
Heterogenitas yang dimiliki Indonesia, sebenarnya adalah sebuah potensi yang luar biasa. Sebagaimana slogan dan jargon yang dimunculkan dari awal semacam gagasan Bhineka Tunggal Ika, pernyataan bersama pemuda 76 tahun yang lalu, dan berbagai propaganda yang baru, adalah wujud dari upaya untuk tetap mempertahankan komitmen moral seperti kesatuan dan kebersamaan yang telah menjadi pelita bagi kegelapan penjajahan yang dulu dirasakan. Dengan bukti teraihnya kemerdekaan dengan komitmen tersebut, adalah wujud keampuhan potensi yang sebenarnya ambigu. Ambiguitas ini muncul karena ternyata potensi tersebut juga telah menjadi pemicu konflik-konflik baik dalam tingkat lokal maupun nasional, sebuah warna kelabu yang menghiasi lukisan perjalanan bangsa ini.
Dengan beragam potensi cultural dan konflik yang melekat dalam kejiwaan bangsa ini, gagasan otonomi daerah yang lebih menekankan pada aspek lokal, ternyata membentuk aksioma yang tidak terlalu baru dalam tata nilai masyarakat kita. Bakat lama yang terpendam dalam masyarakat Indonesia ditakutkan akan muncul sebagai biang permasalahan baru. Sebagai sebuah terobosan yang dianggap cukup strategis, otonomi daerah diasumsikan mampu menata proporsi konflik lama sehingga kita benar-benar siap dengan tantangan dan permasalahan baru. Dan keterjebakan pada sejarah yang telah terjadi mau tidak mau menjadi batu pengganjal bagi langkah sebuah generasi. Bagaimana semestinya kita memandang realitas ini ?
Aksioma dan beragam kekhawatiran tentang dominasi aspek lokal bukan sebagai kekuatan pembangun tapi justru menjadi pemicu konflik tersebut telah mempengaruhi nilai yang dianut dalam masyarakat. Dan tidak akan memakan banyak waktu untuk sampai pada perilaku yang akan timbul dalam masyarakat. Beragam keputusan besar lain yang terimbas dari kebijakan otonomi daerah semacam kebijakan di sector ekonomi lokal, mau tidak mau akan sangat dipengaruhi perilaku yang terjadi pada sebuah masyarakat. Banyak keputusan lain yang juga akan terimbas.
Menyikapi berbagai kekhawatiran tersebut, lokalitas sebenarnya menyimpan sebuah sinergi yang jika terakumulasi akan menjadi sebuah kekuatan besar bagi masing-masing entitas mulai dari level daerah yang pada tahap lanjut akan menjadi pembangun konstruksi potensi nasional. Sebuah contoh sederhana pada penggunaan bahasa daerah dalam sebuah iklan susu yang sering ditayangkan di televisi, adalah contoh pemanfaatan unsur budaya, wujud keterlibatan aspek lokal dalam kepentingan bisnis yang lebih luas batasannya. Ternyata dengan melibatkan aspek lokal dalam kebijakan bisnis yang tidak terikat batas-batas teritorial, iklan tersebut cukup efektif baik dalam kaitanya dengan orientasi bisnis maupun orientasi kontrol social budaya. Aspek lokal yang identik dengan “pembatasan” dalam praktiknya sering menjadi permasalahan ketika pembatasan tersebut diarahkan lebih kepada pembentukan eksklusifisme dan elitisme meskipun baru pada level gagasan saja. Tanpa adanya upaya untuk “mendialogkan” lokalitas tersebut, harapan terwujudnya sinergi beragam unsur yang bersifat lokal meskipun hanya berupa gagasan akan menjadi keterlanjuran sejarah yang baru bagi generasi-generasi sesudah generasi yang ada sekarang.
Selanjutnya, peran kesadaran kritis untuk berdialog dalam kerangka mewujudkan sinergi dari keanekaragaman yang ada, akan menentukan proses yang akan dilalui oleh bangsa ini di kemudian hari. Namun, keterjebakan kesadaran kritis yang ada sekarang, dalam artian kesadaran lokal, juga tidak menjanjikan perubahan apa-apa. Dalam levelnya, kesadaran semestinya tidak terbatas hanya pada hal-hal yang bersifat lokal.

Preposisi Rapat Kerja IKPM-SUMUT
Kaliurang, 14-15 Juli 2006


Tujuan penyampaian Program Kerja, sebagai berikut:
· Menjabarkan Program Kerja umum menjadi Program Kerja bulanan
· Merencanakan kegiatan Program Pusat selama periode kepengurusan sementara (6 bulan)
· Adanya perencanaan yang terarah dalam pelaksananan kegiatan
· Adanya mekanisme kerja yang tertata baik di tingkat pengurus inti, tiap divisi dan tiap komisariat

Prinsip Kerja Raker dan Pelaksanaan Program:
· Merancang rincian dan langkah-langkah pelaksanaan program kerja IKPM SUMUT yang telah disetujui untuk dilaksanakan.
· Menyusun detail anggaran biaya untuk kegiatan/program kerja IKPM SUMUT yang telah disetujui untuk dilaksanakan.
· Melaksanakan program kerja yang telah disetujui dibawah pengawasan dan pembinaan langsung oleh masing-masing Koordinator Divisi.
· Bekerja sama secara aktif dan inisiatif dengan koordinator, panitia pendukung, dan seluruh komponen organisasi dalam pelaksanaan program yang telah disetujui untuk dilaksanakan.
· Bertanggungjawab langsung dan berkoordinasi dengan koordinator terhadap proses pelaksanaan dan keberhasilan kegiatan.
· Bekerja sesuai dengan kapasitas yang diberikan sebagai pengurus dengan menjaga kekompakan team IKPM SUMUT dan saling hormat menghormati.
· Memberikan saran dan rekomendasi untuk perbaikan pelaksanaan program kerja.

Pokok-Pokok Program
Peningkatan Kerjasama Kemitraan.
Program utama tersebut dijabarkan ke dalam jangka panjang dan pendek dengan sejumlah Rencana Kegiatan sebagai berikut:
Maksimalisasi kinerja IKPM-SUMUT
· Evaluasi kegiatan IKPM-SUMUT pusat.
· Pembentukan IKPM-SUMUT komisariat kampus.
· Peningkatan kegiatan organisasi IKPM-SUMUT pusat.
· Revitalisasi kegiatan IKPM-SUMUT pusat.
· Investasi anggota.
· Penerimaan anggota baru.
· Pembentukan kartu anggota baru.
Peningkatan Pembinaan Anggota
· Penyelenggaraan diskusi & seminar singkat.
· Penyelenggaraan kursus-kursus singkat.
· Pertemuan silaturahmi antar pengurus dan anggota.
Peningkatan Kerjasama Kemitraan
· Peningkatan kerjasama dengan instansi pemerintah.
· Peningkatan kerjasama dengan perguruan tinggi.
· Peningkatan kerjasama dengan lembaga-lembaga penelitian.
· Peningkatan kerjasama dengan organisasi profesi sejenis.
· Peningkatan kerjasama dengan perusahaan swasta (konsultan, kontraktor dan industri).
· Peningkatan kerjasama dengan Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM).

Fokus: Konsolidasi dan Pengembangan Organisasi
1. Konsolidasi Spirit
· Meningkatkan kesadaran tentang nilai-nilai fundamental dan operasional organisasi dan semangat kerelawanan sebagai proses pemberdayaan kaum muda.
· Menginternalisasikan visi, misi dan nilai-nilai organisasi dalam program-program yang dikembangkan dan perilaku individu (anggota dan kader).
· Meningkatkan militansi kader dan anggota dalam pengabdian kepada masyarakat dan untuk memajukan dan menjaga keberlangsungan hidup organisasi.
2. Pengembangan Kapasitas Organisasi
a. Sektor Kelembagaan
· Meningkatkan sarang dan prasarana organisasi yang memadai untuk mendukung perjuangan.
· Memantapkan peran dan fungsi dari kelengkapan/organ-organ kelembagaan.
· Menata diri sebagai organisasi masyarakat yang professional dan berkarakter sebagai proses pemberdayaan kaum muda dengan sistem manajemen dan sistem akuntansi yang sehat.
· Tersedianya perangkat organisasi yang efektif.
b. Sektor Keanggotaan dan Kaderisasi
· Memperbesar jumlah keanggotaan yang berkualitas dan handal.
· Rekruitmen anggota yang sesuai dengan sistem administrasi yang ditentukan oleh Induk Organisasi dengan mempertimbangkan pengarus utamaan jender dan pluralitas keanggotaan.
· Berkomitmen untuk melaksanakan dan mengembangkan sistem kaderisasi dalam menjamin kesianmbungan visi-misi dan arah perjuangan organisasi.
· Mengembangkan sistem informasi dan dokumentasi kader dan anggota yang konfrehensif dan terpadu.
· Memberdayakan kader secara efektif dalam program-program organisasi.
· Meningkatkan keterampilan kader dan anggota sebagai proses pemberdayaan kaum muda yang professional secara berkesinambungan. Dalam proses ini organisasi memberikan kesempatan yang adil kepada setiap kader.
c. Sektor Fund Rising
· Meningkatkan kesadaran dan kesediaan anggota untuk memenuhi kewajiban membayar iuran.
· Mengedepankan dan meningkatkan akuntabilitas pengelolaan dana organisasi.
· Mengupayakan berbagai sumber-sumber pendanaan organisasi yang merujuk-sesuai dengan aturan organisasi dan tidak bertentangan dengan Undang-Undang yang berlaku di Indonesia dengan didasari prinsip kemandirian dan kreatifitas.


PROGRAM KERJA DIVISI

Divisi Organisasi (Pengkaderan, Kesekretariatan dan Informasi)
· Bekerjasama dengan semua Koordinator Wilayah dalam upaya pendataan anggota;
· Meningkatkan koordinasi dengan seluruh Koordinator Wilayah;
· Pengembangan Manajemen Organisasi. Pengembangan manajemen dimaksudkan agar kegiatan-kegiatan bisa dilaksanakan dengan efisien dan efektif. Kegiatan yang dicakup program ini adalah:
· Pengembangan mekanisme kerja yang partisipatif dan sesuai dengan tuntutan kebutuhan dan keadaan;
· Melengkapi sarana kerja;
· Pengembangan kemandirian organisasi;
· Pengembangan kemampuan seluruh anggota kepengurusan.
· Memberikan layanan informasi IKPM SUMUT melalui internet dan homepage IKPM SUMUT.

Divisi Minat & Bakat
· Penggalangan dana untuk kegiatan internal divisi;
· Merangsang minat dan bakat seluruh anggota ke arah kegiatan-kegiatan yang positif dan kreatif meliputi kegiatan seni dan olahraga;
· Pembentukan tim-tim kerja untuk bidang seni dan olahraga meliputi: musik, tari, sepakbola, voli dan olahraga lain;
· Penjadwalan latihan rutin;
· Pelaksanaan event tertentu seni dan olahraga.

Divisi Kerohanian
· Pelaksanaan program rutin keagamaan;
· Pelaksanaan program perayaan hari besar agama;
· Menjaga kerukunan kehidupan beragama antar anggota;
· Penggalangan dana untuk kegiatan internal divisi.

Divisi Sosial dan Kemasyarakatan
· Pelaksanaan program rutin sosial kemasyarakatan;
· Pelaksanaan program sosial kemasyarakatan yang incidental;
· Menjaga kerukunan kehidupan sosial antar anggota;
· Penggalangan dana untuk kegiatan internal divisi.

Divisi Dana Usaha
· Bekerja sama dengan seluruh Koordinator Wilayah/Kampus untuk pengumpulan iuran anggota;
· Mengupayakan alternatif pendanaan IKPM SUMUT melalui kerjasama dengan berbagai pihak;
· Mengadakan kegiatan-kegiatan organisasi yang bersifat profit oriented;
· Memberikan informasi tentang keuangan dan investasi barang IKPM SUMUT dalam periode tertentu.

Divisi Pers & Publikasi
· Pembuatan Jurnal atau Buletin rutin;
· Mengadakan seminar tahunan IKPM SUMUT;
· Membuat dan mengumpulkan makalah untuk Jurnal atau Buletin rutin;
· Melakukan komunikasi dengan instansi-instansi pemerintahan di Sumatera Utara dan Pemerintah DIY;
· Melakukan interaksi aktif dengan semua Koordinator Wilayah/Kampus dan komunikasi dengan Keluarga Besar IKPM SUMUT;
· Melakukan komunikasi dengan alumni;
· Memberikan layanan informasi ilmiah kepada instansi-instansi pemerintahan di Sumatera Utara dan Pemerintah DIY dengan penyebaran proceeding dan Buletin rutin.
· Penggalangan dana untuk kegiatan internal divisi;

Penutup
Adapun pelaksanaan program dan kegiatan akan dilakukan sesuai dengan perkembangan waktu dan kondisi yang ada. Karena itu, setiap tahun akan dilakukan penetapan prioritas program. Prioritas program disusun berdasarkan kriteria-kriteria tertentu dan mempunyai magnitude besar (berdampak luas, baik jumlah konstituen yang terlibat ataupun ekspektasi keuntungannya, baik yang bersifat langsung ataupun tidak langsung), meliputi:
· Urgensinya: melihat bahwa program memang perlu dilaksanakan secepatnya
· Related: melihat bahwa program tersebut sesuai dengan tujuan dan misi IKPM-Sumut
· Important: melihat bahwa program-program tersebut memang penting dan dibutuhkan IKPM dan masyarakat
· Effisiensi: diharapkan dapat menghasilkan output yang cukup signifikan dibanding dengan input yang digunakan
· Effektif: diharapkan program, kegiatan dan, rencana tindak cukup berhasil untuk menghasilkan output tertentu

Perlu disampaikan bahwa sifat kegiatan dalam setiap program telah disusun sedemikian hingga, sesuai dengan realitas di lapangan dan kebutuhan yang ada. Hanya saja karena sifatnya perencanaan, maka hal-hal yang berhubungan dengan teknis kegiatan dimaksud, adakalanya belum dapat disampaikan secara detail, khususnya berkenaan dengan kegiatan tahun ke 3 dan seterusnya. Hal ini dapat dipahami, bahwa konsepsi demikian bertujuan agar realisasi perencanaan dapat berkembang menurut kondisi di lapangan dan tuntutan perkembangan tanpa harus merubah landasan dan maksud kegiatan tersebut dilaksanakan.
Desain program dan kegiatan ini merupakan sebuah rangkaian yang saling mendukung dan terkait, karena itu pemaknaan setiap bagian tidak dapat dilakukan dan berdiri sendiri. Demikian pula keberhasilan pelaksanaan program dan kegiatannya, merupakan instrumen yang komplit, yang harus berjalan secara harmonis. Oleh sebab itu koordinasi dalam setiap pelaksanaannya menjadi sangat penting yang perlu perhatian khusus. Pemahaman tentang kaitan masing-masing program dan kegiatan yang mengikutinya, diharapkan dapat mempertegas pelaksanaan pemberdayaan pengurus berada di landasan garis strategis yang direncanakan.

SOEMPAH PEMOEDA

POETOSAN CONGRES
PEMOEDA-PEMOEDA INDONESIA
TAHOEN 1928


Kerapatan pemoeda-pemoeda Indonesia jang diadakan oleh perkoempoelan pemoeda-pemoeda Indonesia jang berdasarkan kebangsaan, dengan namanja Jong Java, Jong Soematra (Pemoeda Soematra), Pemoeda Indonesia, Sekar Roekoen, Jong Islamieten Bond, Jong Bataks Bond, Jong Celebes, Pemoeda Kaoem Betawi dan Perhimpoenan Peladjar-Peladjar Indoesian ;

Memboeka rapat pada tanggal 27 dan 28 October tahoen 1928 di negeri Djakarta; sesoedahnja mendengar pidato-pidato dan pembitjaraan jang diadakan didalam kerapatan tadi; sesoedah menimbang segala isi pidato-pidato dan pembitjaraan ini; kerapatan laloe mengambil kepoetoesan :

Pertama :
KAMI POETRA DAN POETRI INDONESIA MENGAKOE BERTOEMPAH DARAH JANG SATOE, TANAH INDONESIA.

Kedoea :
KAMI POETRA DAN POETRI INDONESIA MENGAKOE BERBANGSA JANG SATU, BANGSA INDONESIA.

Ketiga :
KAMI POETRA DAN POETRI INDONESIA MENJOENJOENG BAHASA PERSATUAN, BAHASA INDONESIA.

Setelah mendengar poetoesan ini kerapatan mengeloerkan kejakinan asas ini wadjib dipakai oleh segala perkoempoelan-perkoempoelan kebangsaan Indonesia;

Mengeloerkan kejakinan persatoean Indonesia diperkoeat dengan memperhatikan persatoeannya :

Kemaoean

Sedjarah

Hoekoem - adat

Pendidikan dan Kepandoean

dan mengeloerkan pengharapan soepaja poetoesan ini disiarkan dalam segala soerat kabar dan dibatjakan dimoeka rapat perkoempoelan-perkoempoelan kita.

Disadur dari Sekretariat Negara Republik Indonesia
Tanggal 27 Oktober Tahun 2003

Materi termuat Buletin IPMALAY 05
Kalau nanti kamu menyandang status mahasiswa, ada segudang pilihan kegiatan yang bakal bisa kamu lakukan. tidak hanya sekedar rajin kuliah, membaca diktat dan lulus cepat.
HMJ
Ini adalah organisasi yang menampung aspirasi mahasiswa di tingkat jurusan. Himpunan Mahasiswa Jurusan (HMJ) lebih memfokuskan kegiatannya pada hal-hal yang berhubungan langsung dengan lingkup keilmuan jurusan yang bersangkutan. Kegitan-keguatan yang diselenggarakan HMJ selalu diwarnai dengan semangat kekeluargaan, biar lebih dekat, lebih kenal, dan lebih sayang. Tak heran kegiatan populer yang biasa dilakukan adalah malam keakraban untuk mahasiswa baru.

OSPEK
Rambut gundul, baju kusut, atribut aneh, hukuman tak masuk akal merupakan ciri khas OSPEK (apapun namanya kini). Ritual ini selalu memicu pro kontra. Ada yang menyebutnya sebagai pembodohan bahkan ajang balas dendam para senior. Tak heran konsep selalu direvisi.
Tahunlalu penyelenggaraan tidak seserem yang dibayangkan. Beberapa fakultas manyelenggarakan OSPEK dengan sisi baru, yang benar-benar mengenalkan mahasiswa dengan kehidupan kampus.
GAMA FAIR
Untuk memperingati ultah UGM, beberapa tahun lalu pernah diadakan Gadjah Mada Fair (GAMA FAIR). Diselenggarakan pertama kali pada tahun 1986 dan terakhir kali diadakan tahun 1997. acaranya mulai dari bazar, lomba dan pertunjukkan. Pesertanya mulai dari perusahaan multinasional sampai pedagang kaki lima. Masyarakat jogja pun tumplek-blek di sini. Sayangnya, beberapa tahun belakangan ini vakum. Gimana, terinspirasi untuk melaksanakannya lagi?
Badan OTONOM
Semacam UKM di tingkat fakultas. Kegiatannyapun tak jauh beda misalnya penerbitan fakultas, Mapala dan kerohanian. Lembaga ini disebut Badan Otonom atau BO yang independen karena tidak berada di bawah Senat/BEM atau HMJ. Meskipun begitu, dana masih disubsidi Dekanat. Tiap BO punya markas sendiri yang jadi tempat kumpul, diskusi, mempersiapkan acara, atau sekedar nongkrong sampai malam.
Organisasi Ekstra
Selain HMJ, UKM maupun Badan Otonom, ada pula organisasi ekstra kampus. Rata-rata organisasi ini dibentuk karena kesamaan ideologi atau pearasaan tidak puas pada lembaga formal yang ada.
Jadi kegiatannya lebih kepada pengkajian wacana umum dan penyadaran masyarakat. Organisasi ekstra kampus yang ada di UGM misalnya Himpunan Mahasiswa Islam (HMI), Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia (PMII), Kesatuan Aksi Mahasiswa Muslim Indonesia (KAMMI), Liga Nahasiswa Nasioal Untuk Demokrasi (LMND). Serikat Mahasiswa Merdeka (SMM), dan Gerakan Mahasiswa Nasional Indonesia (GMNI).
KM
Inilah satu-satunya lembaga tingkat universitas yang diakui rektorat, yah semacam OSIS lah. Bedanya, kita nggak perlu minta tanda tangan ketua Keluarga Mahasiswa (KM) Ugm bila ingin menyelenggarakan kegiatan dan tentu sajatidak memakai badge KM.
Lembaga ini sering mendapat kritikan. Mulai tidak adanya manfaat keberadaan KM bagi mahasiswa sampai pemihakan KM pada pergulatan politik negara. Suksesi pengurus KM dilakukan tiap tahun lewat PEMIRA.
PEMIRA
Ritual tiap tahun ini diadakan untuk memilih ketua KM. Konon tiap penyelenggaraan bisa menghabiskan 8 juta duit rektorat. Para wakil mahasiswa yang dipilih ini biasanya berasal dari partai-partai kampus. Pemira (Pemilihan Umum Raya) ini seharusnya melibatkan seluruh mahasiswa, tapi pada kenyataannya hanya sebagian kecil mahasiswa ikut memilih.
Nggak apa-apa lah…….itung-itung ngelatih mahasisawa berdemokrasi.

Lembaga Tingkat Fakultas
Inilah KM-nya fakultas. Fungsinya dijabarkan dalam 2 lembaga. BEM sebagai pelaksana program dan Senat sebagai pengawas.
Kebanyakan lembaga kemahasiswaan di Fakultas non-eksakta mempunyai masalah dengan legitimasi (baca:kepedulian) para mahasiswa. Bahkan di FISIPOL dan Hukum sempat dibubarkan. Tapi di fakultas eksakta seperti Teknik dan MIPA, BEM dan Senat cukup populer di mata mahasiswa.
Gelanggang Mahasiswa
Ingin gabung UKM, tapi milih? Jangan khawatir, kamu bisa dapat informasi sekaligus daftar UKM saat Gelanggang Expo (Gelex).
Hajat tahunan Forum Komunikasi UKM-UGM ini berisi demo kegiatan, pentas seni, rekruitmen atau sekedar pameran piala dan inventaris UKM. Gelex biasanya diselenggarakan setelah beberapa minggu Ospek selesai dan berlangsung selama 3 hari. Selama itu, kamu bisa kenalan dengan kawan-kawan dari berbagai UKM, hingga akhirnya kamu bisa memutuskan kemana mau menyalurkan minat, bakat serta kreativitasmu.
Kagama
Setiap alumni Ugm tergabung dalam Keluarga Alumni Gadjah Mada (KAGAMA). Organisasi ini berdiri tahun 1958.
Lulusan UGM tersebar di berbagai daerah di Indonesia. Jadi, jangan heran di setiap provinsi terdapat pengurus daerah KAGAMA. Suksesi pengurus diadakan lima tahun sekali. Pengurus daerah punya program sendiriyang dilaksanakan di wilayah operasionalnya. Kegiatan dari donor darah, khitanan massal sampai kunjungan ke lembaga-lembaga sosial.
Kelompok Diskusi
Kalau benar-benar mau pintar, kuliah saja tidak cukup. Karena materi, waktu dan kemampuan dosen sangat terbatas. Maka, selain membaca, diskusi menjadi wajib hukumnya.
Beruntunglah karena di Djogja banyak orang atau kelompok yang mau diajak berdiskusi tentang apa saja. Sosial, politik, ekonomi, budaya sampai hal-hal kecil di sekitar kita, jogjalah gudangnya. Itupun kalau benar-benar mau pintar, sich.
Porfigama
Bila UGM berulang tahun, ada kegiatan yang dinantikan mahasiwa di setiap fakultas. Namnya Pordies (Pekan Olahraga Dies Natalis). Mulai tahun 2001, Pordies berganti nama menjadi Porfigama (Pekan Olahraga dan Festifal Seni Gadjah Mada). Tidak hanya olahraga saja yang dipertandingkan, tetapi juga seni dan budaya.
Juara umum ditentukan lewat akumulasi medali yang didapatkan. Sayang, tawuran antar suporter kerap mewarnai acara ini terutama pada cabang olahraga favorit seperti sepakbola, basket dan bola voli.

MAKAN, TIDUR, MUSIK

MAKAN, TIDUR, MUSIK
Materi termuat Buletin IPMALAY 05
Saat ini sekarang kita sedang menjalani transformasi dari masa remaja menjadi orang dewasa. Menjadi manusia seutuhnya yang berwenanf dan bertanggung jawab penuh atas dirinya. Pada masa ini terjadi banyak proses pematangan diri, ada keinginan untuk menjadi unik dan berbeda dengan mengembangkan kemampuan khusus kita. Ada proses identifikasi, mencari tahu pribadi seperti apa yang kita inginkan. Kita mencoba membentuk eksistensi diri.
Manajemen diri sendiri
Ditiap perusahaan kita mengenal “ manajer ” yang mengatur, mengendalikan dan melakukan koordinasi setiap elemen dalam perusahaan tersebut. Diri kita bisa dianalogikan sebagai sebuah perusahaan sekaligus menjadi manajernya. Kita sendiri yang mengendalikan kearah mana dan tujuan hidup kita. Setidaknya proses ini secara riil bermula ketika kita menjadi mahasiswa, meski kemampuan memenej masih terbatas pada hal – hal kecil.
Pengembangan diri sebagai seorang manajer akan lebih nyata bagi mahasiswa yang hidup ditempat kos daripada mereka yang masih tinggal bersama orang tuanya. Bagaimana tidak ? ditempat kos, kita benar – benar mengatur diri sendiri, mulai dari mencari makan, menjaga kkesehatan, mmelindungi diri, menyelesaikan tugas kuliah, membersihkan kamar, mencuci pakaian, bertemen dan berpergian, semuanya menjadi tanggung jawab kita sendiri.
Menjadi anak kos juga akrab dengan masalah-masalah, seperti kiriman dari ortu yang telat datang, berantem dengan temen, dijutekin ibu kos, capek karena harus mencuci dan menstrika sendiri, ongkos bis yang terus naik, harus makan irit tiap akhir bulan, dan setumpuk masalah lainnya.
Masalah manajer bagi diri sendiri berarti manjadi decision maker, membuat keputusan – keputusan penting dengan akibat yang akan kita rasakan sendiri. Hidup adalah sebuah pilihan. Kita berhak untuk memilih menjadi orang yang rapi, peduli terhadap lingkungan atau menjadi orang yang amburadul, cuek dan seenaknya sendiri. Tentu saja perlu diingat konsekuensi dari pilihan – pilihan tersebut. Di tempat kos, tidak akan ada yang peduli apabila kamar kita berantakan, tak akan ada yang peduli kita mau bangun siang. Disinilah kemampuan manajerial kita di uji. Bagaimana kita membuat pilihan yang cerdas yang tidak menyebabkan hidup kita terpuruk.
Pentingnya adaptasi
Mengingat kehidupan sebagai mahasiswa berbeda dengan kehidupan sebelumnya, kemampuan kita untuk beradaptasi adalah hal yang sangat vital. Apalagi untuk mahasiswa yang berasal dari luar jogja. Kota jogja merupakan kota yang unik, yang bisa dikatakan indonesia mini. Mahasiswa UGM banyak yang berasal dari seluruh nusantara. Untuk berinteraksi dengan merek, kita harus paham dengan segala kebiasaan dan kebudayaannya. Kalau kita tidak ada usaha untuk saling menyesuaikan diri, fleksibel, tenggang rasa dan easy going, akan terjadi konflik dengan teman dan lingkungan sekitar hingga kita tidak akan kerasan dengan “ hidup baru” ini.
Masyarakat jogja sendiri mempunyai budaya yang khas, mereka adalah masyarakat yang sopan, berprilaku halus dan kadang sering ‘ewuhpakewuh’( semacam perasaan segan untuk mengatakan yang sebenarnya agar tidak menyakiti orang lain ). Untuk berinteraksi dengan masyarakat, tetangga kita ditempat kos yang memang perlu memahami prinsip apa yang berlaku dalam masyarakat. Tapi yang penting, kita harus memegng prinsip universal seperti sopan santun, tnggang rasa dan menghormati orang yang lebih tau. Jangan lupa untuk menaati peraturan – peraturan kampung.
Makan + tidur + musik
Warung makan
Makanan asli jogja maupun makanan khas daerah lain lebih mudah ditemukan dan relatif murah. Di warteg, dengan harga Rp 1000 rupiah saja, kamu bisa makan nasi sayur dan tempe. Tambah Rp 800 lagi kamu bisa menikmati telur. Selain nasi sayur dan tempe, ada menu pilihan lagi yaitu sego pecel (sgpc). Lotek, burjo ( bubur kacang hijau ) dan sugali ( susu segar boyolali ).
Kalau lapar tengah malam, datang saja ke warung burjo dan indomie. Warung ini buka 24 jam. Atau cari saja angkringan, warung grobak dengan menu spesialnya, sego kucing.
Salon
Meski tampil cantik dan segar bukan hal utama bagi mahasiswa, tidak sedikit mahasiswa yang menyisihkan uangnya buat kesalon untuk facial, manicure, pedicure, dan creambath.
Disekitar kampus tersebar banyak salon yang menyediakan potongan atau harga khusus buat mahasiswa. Selain itu,tersedia pula ruang – ruang khusus untuk cewek berjilbab atau ruang khusus cowok. Sehingga kamu akan merasa lebih nyaman lagi berada disalon.
Hidup di kos
Mmencari kos di jogja gampang – gampang susah. Meski tempat kos bertebar di sekitar kampus, kamu mesti jeli melihat harga dan fasilitas yang disediakan. Harga berkisar Rp 50.000 sampai ratusan ribu. Pembayarannya bisa perbul, pertiga bulan, atau langsung dibayar tahunan.
Sebagai anak kos, kamu harus bisa menyesuaikan diri dengan pemulik kos mmmaupun dengan masyarakat sekitar. Hal ini penting karena kamu akan selalu berinteraksi dengan mereka.
Warnet
Kamu ingin berpetualang di dunia may, cek e-mail, chatting, atau sekedar melihat gambar – gambar menarik, warnetlah tempatnya. Di jogja, warnet tersebar dimana – mana. Boleh di bilang setiap beberapa meter kamu melangkah, pasti bakal menemukan warnet. Harga berkisar Rp 2500/jam dengan fasilitas seadanya sampai dengan Rp 5500/jam lengkap dengan sofa dan Ac.
Rental
Tugas kuliah numpuk, ingin nonton film baru atau install software baru, kamu enggak usah pusing – pusing deh. Di jogja, semua itu bisa di atasi.
Kalau ingin ngetik tugas, datang saja ke rental komputer yang banyak tersedia di sekitar kampus 500 sampai 1000 rupiah per jam. Atau mau nonton film untuk melepaskan diri dari masalah di kampus, rental CD software dan VCD bertebaran di jogja membuat kamu bebas untuk memilih filmapa yang ingin kamu tonton.
Laundry
Kamu nggak suka nyuci pakaian sendiri? Jangan bingung! Disekitar tempat kos ada banyak usaha laundry tau pencucian

Kekerasan akademik

Kekerasan akademik
Materi termuat Buletin IPMALAY 05
Selama kuliah, pantas kalau masalah–masalah akademik mendapat perhatian besar. Karena sistem belajar di universitas berbeda dengan sistem yang digunakan di SD sampai SMU, nggak heran kalau banyak yang kesulitan beradaptasi.

Perbedaan ini menyebabkan ketidaktahuan sistem akademik dan memancing terjadinya kekerasan sistem akademik. Bisa jadi istilah ini terdengar aneh di benak mahasiswa baru atau adik-adik. Bahkan di kalangan mahasiswa yang sudah lama kuliah pun kekerasan akademik menjadi obrolan yang populer. Padahal para pejuang hak mahasiswa yakin bahwa kekerasan akademik ini sering terjadi di lingkungan kampus.
Mengapa sebenarnya kekerasan akademik bisa terjadi ? tindakan macam apa yang bisa dianggap sebagai kekerasan akademik. Jawaban kedua masalah ini berkaitan dengan kebebasan akademik. Artinya, kebebasan dan kekerasan akademik adalah dua hal yang berkaitan erat. Tidak adanya jaminan atas kebebasan akdemik adalah masalah pokok yang lantas memunculkan kekerasan akademik. Rumit ya ! biar ‘gak bingung kita uraikan saja satu per satu! !

Kebebasan akademik
Apa sih kebebasan akademik itu? Kebebasan akademik dapat diartikan sebagai kebebasan bagi dosen untuk mengajar dan bagi mahasiswa untuk belajar tanpa adanya intervensi dan represi pihak luar (pemerintah, pihak keamanan, masyarakat, dll). Selain itu, juga tidak boleh adanya tekanan institusional dari dalam universitas sendiri.
Lebih khusus lagi, kebebasan akademik bagi dosen berarti kebebasan untuk mengembangkan segala kegiatan yang akan meningkatkan kemampuan intelektual mereka, mempresentasikan penemuan – penemuan mereka dam mempublikasikan hasil riset tanpa sensor, serta mengajar dengan cara–cara yang menurut mereka profesional. Untuk mahasiswa sendiri, elemen dasar bagi kebebasan akademik adalah kebebasan untuk mereguk pengetahuan yang mereka inginkan, menyusun kesimpulan-kesimpulan, serta menyatakan pendapat.
Kebebasan akademik bukan hanya untuk kepentingan kenyamanan bagi para dosen dan mahasiswa saja, melainkan juga demi kepentingan masyarakat luas. Kebutuhan masyarakat akan pengetahuan akan terpenuhi dengan baik jika kegiatan akademik berjalan dengan baik dan sehat. Bila kebebasan akademik tidak dijamin, ilmu bisa dijadikan alat kekuasaan. Misalnya, pelajaran seperti Pancasila dan Kewiraan bisa dijadikan alat menanamkan doktrin. Mahasiswa cuma diajari satu cara pandang saja, tidak boleh ada perbedaan pendapat. Pembatasan pikiran kritis semacam ini bisa juga terjadi pada mata kuliah lain.
Fenomena ini sebenarnya tidak hanya terjadi di Indonesia. Di negara-negara yang tradisi demokrasinya lemah, ilmu dan sekolah (termasuk Universitas) dianggap sebagai alat propaganda nomor satu. Memang, institusi formal seperti Universitas (apalagi yang dibiayai pemerintah) cenderung punya watak yang setia dan tidak kritis pada kekuasaan. Padahal ilmu seharusnya diabdikan untuk kepentingan seluruh manusia, tidak hanya segelimtir orang saja.

Kekerasan Akademik
Nah, kalau kita sudah tahu definisi kebebasan akadenik, akan lebih mudah bagi kita untuk membahas masalah kekerasan akademik. Secara sederhana, kekerasan akademik bisa diartikan sebagai tindakan yang tidak menghormati kebebasan akademik warga kampus. Kalau di sebuah Universitas tak ada jaminan kebebasan akademik, bisa dipastikan kekerasan akademik akan sering menimpa dosen dan mahasiswanya.
Di kalangan mahasiswa, barangkali kekerasan akademik yang paling populer adalah subyektifitas nilai yang diberikan dosen. Banyak mahasiswa yang mengeluh karena dosen tidak mempunyai ukuran yang jelas untuk menilai pengetahuan mahasiswa. Kadang bahkan ada dosen yang mempunyai “black list”, dan memberi mereka yang terdaftar disana nilai jelek. Padahal masalahnya bisa jadi hanya sepele dan tidak berhubungan dengan kemampuan si mahasiswa. Masalahnya bisa beragam, mulai dari presensi yang bolong-bolong, pakai kaos oblong atau sandal jepit saat kuliah, hingga sering menentang pendapat dosen.tentu ini tidak adil, karena nilai berhubungan dengan pengetahuan, bukan penampilan (itu kata mahasiswa lho..)
Selain itu banyak peraturan yang bisa dijadikan kedok bagi dosen dan pejabat fakultas/universitas untuk merugikan mahasiswa. Ini bisa juga digolongkan sebagai kekerasan akademik. Peraturan tentang dosen pembimbing, misalnya. Kalau dosen pembimbing sulit ditemui, mahasiswa jadi tidak punya kesempatan konsultasi. Ini sudah terhitung kekerasan pertama. Yang kedua, mahasiswa bisa terlambat mengurus registrasi KRS (Kartu Rencana Studi) karena masalah tanda tangan dosen pembimbing – sehingga harus dipotong jatah SKS-nya atau didenda.
Bagi mahasiswa yang sedang menyelesaikan skripsi kesulitan menghadap dosen tentu akan menghambat kelulusannya.
Meski jumlahnya jauh lebih besar dari elemen universitas lainnya, mahasiswa seringkali tidak punya pisisi tawar yang cukup kuat dalam masalah-masalah akademik. Kebanyakan mahasiswa menyerah dan memilih diam. Banyak yang berfikir, selembar ijazah dengan sederet nilai tinggi lebih berarti dibandingkan perjuangan heroik untuk iklim demokratis, jaman memang sudah berbada ya? Bagaimana dengan anda-anda nantinya?

Mahasiswa Mau Apa?

Materi termuat Buletin IPMALAY 05
Apa artinya menjadi mahasiswa? Menjadi mahasiswa bukan sekedar menjadi siswa yang “maha”. bukan lagi seperti anak SMU canggung yang tiap hari mengenakan baju yang sama ke sekolah, yang bisa bolos kuliah dan mengatur jam belajarnya sendiri, yang pendapatnya harus dihargai orang tua (karena mahasiswa sudah dewasa dan bukan lagi remaja), yang boleh pulang malam karena jadi aktivis kampus, yang merasa punya hak untuk omong politik serta kritik sana-sini, dst, dst.
Menjadi mahasiswa di Indonesia, sebagaimana di negara miskin lain, adalah sebuah kemewahan. Mewah, karena hanya 2% dari kurang lebih 220 juta rakyat Indonesia yang cukup beruntung bisa menjadi mahasiswa. Mewah, karena menjadi mahasiswa berarti punya akses informasi eksklusif (perpustakaan dan kuliah dengan dosen top lulusan negara maju), akrab dengan perkembangan teknologi impor dari belahan dunia lain, dan berkesempatan menjadi peneliti-manajer-psikolog-dosen-pejabat-insinyur-dokter-pengacara-pengusaha dancalon anggota kelas menengah Indonesia (yang berdasi, bermobil mewah dan menggenggam Handphone)
Dalam historiografi Indonesia abad XX, mahasiswa berada di tempat terhormat. Nama-nama yang tercatat sebagai pendiri bangsa kebanyakan adalah mahasiswa. Mohammad Hatta, Soekarno, Sutan Syahrir, Soetomo, Tan Malaka, Agus Salim, Cipto Mangunkusumo, adalah beberapa yang paling terkenal. “Indonesia” sendiri juga adalah sebuah konsep baru yang dibentuk lewat bahasa, lewat koran-korandan selebaran yang digarap para priyayi sekolahan tadi.
Pada tahun 60-an, ketika harga-harga melambung, hawa politik super panas, dan Presiden Soekarno masih saja menggebu-gebu dengan “revolusi” belum selesainya, lagi-lagi mahasiswa memainkan peranan penting. Demonstrasi yang dipelopori mahasiswa dan didukung militer turut melicinkan jalan seorang jendral yang tak terkenal menuju puncak kekuasaan. Dan selama 32 tahun, sang jendral itu memimpin pembangunan nasional (depolitisasi massa,pemberangusan pers, doktrinasi pelajar birokrasi yang korup dan ekonomi kroni yang kropos). Ketika tahun 1997 rupiah terpuruk, himpitan ekonomi dan akumulasi ketidakpastian politik berubah menjadi ledakan sosial. Dan, sekali lagi, mahasiswa tampil keren dengan menduduki gedung MPR menuntut sang jendral lengser. Jendral yang sam dengan yang dulu yang mereka antar menuju kursi kepresidenan.
Cerita sejarah ini menggoda orang untuk menilai tinggi mahasiswa. Status mahasiswa menjadi simbol kebanggaan, karena mahasiswa bukan orang kebanyakan. Menjadi mahasiswa berarti menjadi anggota sebuah kelas sosial intelek dan cendekia. Tapi benarkah? Untuk menjawab pertanyaan ini, “apa” dan “siapa” mahasiswa itu harus diperbincangkan.
Kata ‘intelektual berasal dari bahasa Latin, interlego atau intellego yang artinya “memisah-uraikan sambil mengendapkan dalam batin”. Menurut arti ini, seorang intelektual harus mampu berpikir mendalam, menghayati sesuatu, Sebuah tugas yang butuh kekayaan batin sekaligus ketajaman berpikir. Proses “memisah-urai dan mengendapkan” ini pada hakekatnya adalah pencarian kebenaran. Dengan demikian, seorang intelktual adalah pencari dam kekasih kebenaran, seperti Socrates, filsuf besar Yunani kuno, yang memilih menenggak racun. “Sekali-kali takkan aku mengubah haluan, walau harus mati berkali-kali,” jawabnya, ketika diberi kesempatan untuk mendapat ampunan pengadilan dengan syarat tak lagi bertanya dan berspekulasi. Ia membela kebebasannya sebagai seorang intelektual.
Jelas, tidak semua sarjana memiliki gairah yang menggelora akan ilmu (kebenaran) sekaligus memiliki imunitas terhadap godaan dan ancaman kekuasaan. Dengan demikian setiap mahasiswa bakal menjadi intelektual. Dari kacamata lain, mahasiswa jatuh dari sosok patriot universitas peembela rakyat dan kebenaran (seperti dalam bayangan Soe Hok Gie) dengan panji-panji “kepeloporan intelektualnya”. Kehidupan universitas , yang sering dianggap sarang kaum intelektual, seringkali tidak semegah gaungnya. Tak terkecuali universitas-universitas negri yang ada di Indonesia sekarang ini. Bersiaplah tertawa pahit melihat potret buram dunia mahasiswa kita: mahasiswa yang segan berdiskusi, yang bacaannya sebatas diktat dan catatan kuliah, yang mencontek waktu ujian demi sebuah angkayang disebut indeks prestasi, yang gugup bila diminta menulis majalah, yang gagap dalam menerapkan ilmunya, yang gairah utamanya bukan mencari pemahaman melainkan menjadi sarjana secepat-cepatnya.
Maka wajar saja kalau Gunawan Moehamad, budayawan dan pendiri majalah Tempo, tak antusias berbicara tentang kepeloporan intelektual, apalagi kepeloporan mahasiswa. Bukankah yang menjadi arsitek kepemimpinan orde baru, yang bertanggungjawab atas keilmiahan konsep ekonomi pertumbuhanyang rapuh, dulunya juga mahasiswa? Juga para pejabat korup yang mencuri uang pajak, eksekutif bank-bank berkredit macetyang menilep tabungan masyarakat, sejarawan dan ilmuwan penulis buku-buku sejarah, PSPB dan PMP yang membodohkan, serta akuntan dan pengacara lihai menutupi jejak kejahatan kerah putih? Atau bahkan Bapak-Ibu guru kita yang ngertinya hanya mendiktekan materi dan memberi tugas saja, panutan kita yang kadang mencuri waktu mengajarnya untuk merokok dan ngerumpi dengan rekan sejawatnya di kantor, dulu juga adalah mahasiswa. Tapi itu dulu lho!
Sekarang dapatlah kiranya kawan-kawan atau adik-adik untuk berefleksi sejenak, renungkanlah dari hatimu yang paling dalam, bacalah dari banyak referensi yang dapat dipertanggungjawabkan, bila perlu tanyakanlah pada orang-orang yang masih engkau percaya, orangtuamu, gurumu, teman-temanmu, atau siapapun yang kiranya dapat membantumu mencari jawaban ini; Untuk apakah sebenarnya kamu mencari ilmu. Untuk apa kamu setiap hari bangun pagi, mandi, gosok gigi, berangkat sekolah , mendengar, menulis dan menghafal. Untuk apa pula bercita-cita masuk ke PTN pavorit, UI, ITB, UGM, USU, dll. Siapkah kalian untuk memasuki dunia kampus yang penuh tantangan dan jebakan ini. Sudah siapkah kalian untuk jadi mahasiswa yang sebenar-benarnya mahasiswa, mahasiswa yang siap menjadi ilmuwan dan intelektual sejati, mahasiswa yang tidak ingin menjadi seperti orangtua-orangtua kita di atas.
Semoga kalian dapat memastikan jawabannya!

Materi termuat Buletin IPMALAY 05
Akhir-akhir ini kita banyak meelihat di media, baik cetak maupun elektronik semakin berkembangnya tindakan-tindakan yang tidak bermoral dan tidak beradab dari kalangan anak, remaja, orang tua, sampai kakek-kakek. Merebaknya VCD porno yang kemudian banyak menimbulkan perkosaan. Menjangkitnya Miras dan Narkoba yang banyak mengakibatkan kebrutalan, pembunuhan, perampokan, perkosaan, dan tindakan-tindakan lainnya yang sudah tidak disadari oleh pertimbangan pemikiran yang jernih dan hati nurani. Mulai memudarnya rasa hormat anak (generasi muda) terhadap orang tua, kehilangan rasa kasih sayang terhadap teman sebayanya, kehilangan sikap untuk saling menasehati, saling mengingatkan, dan sikap “saling” yang lain agar masing-masing kita menemukan jalan yang terbaik untuk membentuk sebuah bentuk sistem pergaulan yang penuh kesejukan, keakraban, persaudaraan, penuh nuansa untuk maju, mencapai bentuk masyarakat yang ideal.
Fenomena-fenomena penyimpangan prilaku tersebut mencerminkan belum tertanamnya nilai budi pekerti di kalangan massyarakat, lebih-lebih penekananya pada generasi muda. Padahal generasi muda seharusnya menjadi tulang punggung keberhasilan suatu tujuan dalam masyarakat, nusa dan bangsa. Dan ini tidak lepas dari dukungan orang tua, dunia pendidikan dan masyarakat luas. Kejadian dan contoh yang timbul dimasyarakat ini harus digaris bawahi untuk selanjutnya disikapi dengan kepedulian dari berbagai kalangan.
Dalam pandangan penulis, yogyakarta sebagai salah satu ‘central’ pendidikan dinegeri ini terbukti cukup kondusif untuk menekankan budi pekerti lewat anak didik, pendidik, orang tua, bapak/ibu kos, praktisi hukum serta berbagai lapisan masyarakat yang perduli terhadap keberhasilan bangsa beradab. Dalam rangka menyikapi masalah ini, seiring dengan masuknya tahun ajaran baru 2003/2004 secara bersamaan telah dimasukan konseep nilai-nilai budi pekerti dalam pembelajaran disekolah-sekolah di kota Gudek ini, didukung kepedulian orang tua dan masyarakat. Penanaman budi pekerti ini diaktualisasikan melalui konsep yang telah dikembangkan KH Dewantara, yaitu Tri pusat pendidikan. Pertama, pendidikan orang tua. Orang tua dalam keluarga harus berfungsi ganda yaitu sebagai pengayom bagi anak-anaknya sekaligus sebagai pendidik. Ayah dan ibu harus bisa memberi contoh tindakan yang benar dan menilai mana yang salah, sehingga anak bisa menilai mana yang harus dilakukan ataupun yang harus ditinggalkan. Orang tua melakukan perbuatan yang baik untuk ditiru, harapannya adalah anak menjadi manusia yang berguna bagi pribadi, keluarga, agama, massyarakat dan bangsa.
Kedua, pendidikan sekolah. Pendidikan dari taman kanak-kanak sampai perguruan tinggi harus mampu menanamkan nilai-nilai kepribadian, sosial dan nilai moral pada anak didik, sehingga anak tersebut merasa telah diasu hingga dewasa dan berdaya guna bagi keluarga, masyarakat dan agama. Para praktisi pendidikan harus menyisipkan nilai budi pekerti disela-sela proses belajar mengajar agar proses pendidikannya berhasil sesuai yang diharapkan. Untuk itu, guru ataupun dosen harus memiliki kemampuan dasar pembelajaran di kelas, memiliki strategi manajemen tentang pembelajaran, memiliki kemampuan dalam memberikan umpan balik dan penguatan terhadap anak didik, memiliki kemampuan terhadap peningkatan diri sendiri agar tetap berkharisma dan menjadi suri tauladan bagi peserta didik.
Dalam proses pendidikan semua guru/doseen baik pegawai negeri sipil, maupun honorer sebaiknya menyadari bahwa tugas yang diemban dalam mengajar disamping mendapatkan gaji, harus dibarengi niat luhur dan sosial untuk meenanamkan nilai-nilai budi pekerti bagi para peserta didik. Sehingga melalui pendidikan ini anak didik bisa mencerminkan nilai-nilai moral, sosial dalam kehidupan sehari-hari dan menjadi insan yang beradab.
Ketiga, pendidikan dilingkungan masyarakat. Masyarakat pada umumnya terdiri dari berbagai lapisan yang berbeda-beda baik usia, pendidikan, ekonomi dan status sosial maupun latar belakangnya. Dari anggota masyarakat yang beragam ini hendaknya bisa dikendalikan dengan menghidupkan play group dan taman pendidikan Al-Qur’an, kelompok remaja dan pemuda dengan pembinaan melalui pertemuan rutin, temporer dalam lingkup rukun warga atau karang taruna, kelompok dewasa dan orang tua melalui pertemuan tingkat rukun tetangga, rukun warga atau paguyuban yang lain dengan siraman rohani dan keterampilan-keterampilan. Dari masyarakat heterogen ini diharapkan saling peduli untuk memberikan teguran, pembinaan dan contoh-contoh yang rasional terhadap anggota masyarakat agar bisa diterima, saling menyadari kearah kebaikan.sehingga semangat gotong royong dalam masyarakat bisa dirasakan manfaatnya.
Dari ketiga lingkungan pendidikan, yaitu lingkungan orang tua,lingkungan sekolah dan lingkungan masyarakat harus saling kerja sama dalam mewujudkan manusia yang bermoral dan beradab dalam kehidupannya. Di jogjakarta sebagai gambaran aktual dan faktual kondisi bangsa Indonesia pada umumnya, ada penurunan nilai sosial terhadap sesama manusia, rasa hormat, angkatan muda terhadap orang tua mulai luntur, keberadaan anak kos dipandang sebagai nilai ekonomi/sewa semata, belum direngkuh sebagai mana mestinya berdasarkan azas kekeluargaan. Ketiga lingkungan ini harus saling mendukung pendidikan budi pekerti ini. Sejak SD-SLTA bahkan sebaiknya ditindak lanjuti diperguruan tinggi.
Pendidikan nasional bertujuan untuk mengembangkan potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, berilmu, kreatif, mandiri, estetis dan demokratis serta memiliki rasa kemasyarakatan dan kebangsaan. Tujuan luhur dari pendidikan nasional ini diharapkan bisa terwujud berdasarkan peran serta dari seluruh bangsa indonesia lahir maupun batin. Dari kota pelajar Yogyakarta ini, secara bersama-sama telah dimulai semangat untuk saling peduli terhadap keberhasilan pendidikan nasioanal maupun internasional. Dibangsa yang katanya berbudi luhur ini, selain proses pembelajaran yang sudah diberikan disekolah seyogyanya dibarengi penanaman nilai-nilai budi pekerti yang luhur.
Dalam mempertahankan predikat baik kota Yogyakarta sebagai kota pelajar, kota pariwisata dan kota budaya ini didukung beberapa hal.Pertama, melalui Tri pusat pendidikan yang berkelanjutan, pelajar bisa terkontrol dalam prilakunya, kemudian secara bersama-sama mewujudkan tindakan yang bermoral dan beradab. Kedua, mata pelajaran budi pekerti sebaiknya ditanamkan sejak dini dari taman kanak-kanak sampai perguruan tinggi. Ketiga, keberadaan anak kos harus diperhatikan dan dibina supaya tidak lepas dari tujuan utama untuk belajar, mendapatkan ilmu kemudian mengamalkannya. Dalam hal ini, harus ada kontrol sosial dan kepedulian orang tua, sekolah dan masyarakat secara berkelanjutan dalam kehidupan sehari-hari.
Keberadaan anak kos baik dari Yogyakarta maupun dari luar daerah diperhatikan dan ditanamkan rasa kebersamaan melalui pendekatan kekeluargaan bahwa anak kos merupakan keluarga baru sekaligus menjadi tanggung jawab keluarga tersebut. Hubungan sesama anak kos layaknya saudara baru yang sama-sama mencari ilmu, untuk itu masing-masing harus saling menyesuaikan agar tenggang rasa tercipta demi keakraban bersama. Pemilik kos juga sebaiknya secara rutin dan temporer meluangkan waktu untuk mengontrol sarasehan, arisan, kerja bakti dan kegiatan-kegiatan positif lainnya.
Akan lebih baik jika masyarakat peduli akan keberhasilan generasi muda baik dalam belajar maupun bekerja, sehingga generasi berikutnya menjadi orang yang berkualitas, produktif, serta memiliki ilmu yang bermanfaat. Masyarakat secara bersama-sama berkumpul dengan melibatkan penduduk asli dan pendatang baik tua maupun muda.
Media berkumpul itu bisa dalam sarasehan latihan nyinom, latihan memberikan sambutan, latihan menjadi pembawa acara dan lain-lain. Dengan sarasehan latihan seperti itu anak akan merespon nilai budi pekerti, nilai sosial dan keakraban. Anak kos akan pulang kedaerahnya, disamping dengan keberhasilan ilmunya dengan membawa serta nilai-nilai kepribadian dan budaya dari kota Yogyakarta, yang secara otomatis memberi nilai plus tersendiri bagi kota ini.
Demi mempertahankan Yogyakarta sebagai kota pelajar dan mewujudkan sebagai kota budaya dan pariwisata, ini adalah wujud kepedulian bersama-sama dari orang tua, sekolah dan masyarakat. Pendidikan budi pekerti diikut sertakan dalam proses pembelajaran agar anak didik disamping mendapat ilmu pengetahuan juga nilai kepribadian yang tercermin dalam tindakan sehari-hari sebagai insan yang bermoral dan beradab.
Dengan kesadaran yang sama kita sama berharap semoga daerah kita tercinta dapat segera berbenah diri dalam memperbaharui dunia pendidikannya.

Materi termuat Buletin IPMALAY 05

Lying in the shadow of a 2914 meter-high pressure cooker, appropriately called Fire Mountain or Merapi, is the seat of the once mighty Javanese Empire of Mataram, Ngayogyakarto Hadiningrat. It is called Yogyakarta (Yogya) today and came into being in 1755, when a land dispute effectively split the power of Mataram into the Sultanates of Yogyakarta and Surakarta (Solo). The Sultan's Palace or Kraton of Yogyakarta was built by Prince Mangkubumi at this time and he used it as a focus to build the most powerful Javanese state since the 17th century. The Sultan's palace is still the hub of Yogyakarta's traditional life and despite the advance of 20th century modernity, it still radiates the spirit of refinement which has been the hallmark of its art for centuries.
Yogyakarta is one of the supreme cultural centers of Java. Full Gamelan orchestras create visions from the past, classical and contemporary Javanese dances exhibit beautiful control and poise, wayang kulit - leather puppet theaters - come to life and hundreds of other traditional illustrations of art keep lokals and visitors spellbound.It is as if the city itself has an extraordinary life force and charm which seldom fails to captivate.
Contemporary art has also grown in the fertile soil of Yogyakarta's cultural and sophisticated society. ASRI, the Academy of Fine Arts, for example, is the centre of arts in the region and Yogyakarta itself has given its name to an important school of modern painting in Indonesia, perhaps best illustrated by the renowned impressionist, the late Affandi.The province is one of the most densely populated areas of Indonesia and is the main gateway to the centre of Java where it is geographically located. It stretches from mighty Mount Merapi to the North down to the powerful Indian Ocean to the South. Daily air services connect Yogyakarta to Jakarta, Surabaya and Bali, while regular trains ply similar routes and thousands of buses offer easy accessibility by road.

Materi termuat Buletin IPMALAY 05
Nikmati bersama suasana jogja……
Awalnya adalah pesanggrahan untuk istirahat para raja mataram. Perkembangan zaman menyulapnya menjadi kota tak pernah istirahat.
Ketika kerajaan mataram belum terbagi dua, jogja adalah kota kecil yang indah dan pesanggrahan Garjitiwati milik penguasa waktu itu, sri susuhunan Amangkurat jawi. Setelah sri susuhunan Paku Buwono II bertahta, nama pesanggrahan itu berganti menjadi Ngayogya.
Sejak ditemukan oleh para pendirinya, kawasan hutan beringin di selatan Gunung Merapi ini memang dijadikan peristirahatan Raja Kartasura. Sampai munculnya perjanjian Gianti tahun 1775 yang membagi mataram menjadi dua, sekaligus menjadi awal pembangunan ibu kota kerajaan Ngayogya Adiningrat.
Kerajaan baru yang didirikan oleh Sultan Hamengku Buwono I ini, dibangun dengan konsep kosentris yang menempatkan kraton sebagai negara agung dan pusat pemerintahan kerajaan. Di sekeliling kraton terdapat alun-alun, pasar, benteng, penjara, masjid, dan pemukiman penduduk.
Penataan kota jogja selain memperhitungkan fungsi tiap bagian kota juga memiliki makna simbolis. Misalnya, ditengah alun-alun terdapat sepasang beringin yang terkurung dan terpisah, menggambarkan manunggaling kawula gusti. Maknanya peringatan bagi raja agar menjalankan kerajaan dengan adil.
Hingga sekarang sebagian tata kota kraton masih berfungsi dan diperthankan keberadaanya. Tapi sebagian sudah tinggal kenangan karena harus bersaing dengan budaya populer yang menyerbu jogja dengan ganas.
Persaingan antara budaya barat dan kraton menjadi realitas cepat atau lambat akan merubah wajah jogja. Kebudayaan kraton yang sejak awal dijadikan simbol perwujudan budaya jawa, melawan barat yang identik dengan peradaban kapitalis.
Ibarat petinju, pertama-tama peradaba kapitalistik menyarangkanpukulan mautnya keperut orang jogja. Restoran-restoran cepat saji, seperti Kentucky Fried Chicken, MC Donals,Pizza Hut, dan Dunkin Donuts, menjadi sarana mengubah pola dan gaya hidup orang jogja. Berbeda dengan makan dilesehan yang membolehkan pengunjung ngobrol sampai larut tanpa menghiraukan waktu, direstoran – restoran dunia itu makan benar – benar menjadi sekedar aktivitas rutin yang harus segera diselesaikan.
Sebuah budaya barat lainnya yang turut mengubah wajah jogja adalah makin maraknya mal, supermarket dan kafe yang dengan cepat telah membuar sebagian jogja menjadi seperti yang sering muncul disinetron – sinetron indonesia.
Disisi lain, jogja telah menjelma menjadi kesibukan rutin dari siang hingga malam. Jalan – jalan beraspal tak pernah sepi dari kendaraan bermotor dan orang – orang.
Jalan malioboro, salah satu trade mark jogja, bahkan nyaris tidak pernah sepi. Pedagang, pelancong, pelajar, dan pencari hiburan memadati jalan legendaris ini. Kini, jogja menjadi kota yang tidak mengenal kata istirahat.

Nikmati bersama suasana jogja……
Ritual budaya
Belajar budaya jawa belum lengkap tanpa menyaksikan berbagai ritual khas jogja. Ritual kahs jogja yang sering dirayakan besar – besaran antara lain Grebeg Sekaten dan Labuhan. Grebeg dilakukan 3 kali setahun yaitu ; Grebeg besar yaitu pada hari raya idul adha, Grebeg sawal pada hari raya Idul Fitri dan Grebeg maulud untuk memperingati hari kelahiran nabi Muhammad yang juga dimeriahkan dengan sekaten tiap tanggal 5-11bulan maulud. Labuhan untuk memperingati hari lahir raja jogja, Sri Sultan Hamengku Buwono.
Selain itu ada Sendaratari Ramayana di Candi Prambanan, Mubeng Benteng, Jamasan ( pencuci kraton), ngurasenceh dimakam raja – raja imogiri, Upacara Bekakak di Gamping, Tumplak Wajik ( dua hari sebelum Grebeg ) dan saparan. Banyak khan?
Malioboro
Sebutan lamanya adalah “Dari teteng sepur sampai stopan gantung”. Malioboro menjadi saksi perjalanan aktivitas wong jogja. Dulu,..pernah jadi café terpanjang”. Orang bisa makan sambil menikmati orkestra jalanan, nongkrong wedangan sambil berdiskusi urusan asmara, kesenian sampai politik.
Kini, malioboro jadi pusat kegiatan ekonomi. Orang ke malioboro kebanyakan hanya ingin belanja. Romantisme lesehan malam hari sering mendapat banyak keluhan dari orang yang kaget ketika disodoro nota. Bagaimanapun, malioboro masih jadi daya tarik jogja.
Nonton film
Jogja tinggal punya 4 buah bioskop. Kondisi ini sering dimanfaatkan mahasiswa untuk membuat bioskop kampus. Dengan tiket masuk antara Rp 1500 sampai Rp 2000, kamu bisa menikmati film terbaru lewat layar lebar. BPA sospol, KPTU Teknik dan LAKFIIP adalah tempat pemutaran Film di lingkungan kampus.
Pemutan film sering juga digelar di Gedung Societet Militer, lembaga indonesia perancis, PPG kesenian serta gedung pertunjukan kompleks ISI jogja.
Pasar
Selain Bringharjo dan Kranggan sebagai pasar utama, dijogja ada pasar buku yang populer dengan sebutan Shopping Center. Ada juga pasar hewan di Kuncen. Pasar burung di Ngasem. Pasar sepeda di Terban.
Kalau ingin cari barang bekas, ada pasar klitian yang dapat dijumpai di Pasar Bringharjo, Asem Gede, jalan Diponegoro dan jalan Mnagkubumi pada malam hari. Ada pula pasar kembang, tapi jangan harap kamu temukan kembang disana.
Makanan
Satu yang perlu dipersiapkansebelum tiba di kota Jogja adalah membiasakan lidahmu dengan rasa manis. Hampir semua warung masakannya berasa manis, apalagi yang khusus menyuguhkan masakan jogja seperti Gudeg. Bila kamu ingin mencicipi Gudeg, tak perlu bingung mencarinya. Gudeg tersedia dipasar tradisional, penjaja keliling, warung sampai restoran.
Selain Gudeg, masih ada makanan khas berasa manis lainnya seperti tiwul, gatot, sawut klepon, getuk, bakpia, geplak, wingko babad dan yangko.
Kotagede
Terkenal dengan sebutan kota perak karena sejak dulu banyak pengrajin perak.

Berkaitan dengan terbitnya Buletin IPMALAY


Assalamualaikum Wr.Wb
Puji syukur senantiasa kami panjatkan ke hadirat Allah SWT, semoga kita senantiasa diberikan semangat untuk terus berjuang bagi peningkatan kesejahteraan masyarakat Labuhanbatu.
Bersamaan dengan terbitnya edisi kedua buletin IPMALAY ini, kami selaku pelaksana kegiatan pemerintahan di Kabupaten Labuhanbatu merasa sangat bangga, bahwa putra-putri terbaik Labuhanbatu yang masih menjalani masa studi di Yogyakarta telah merintis sebuah upaya untuk ikut berperan serta bagi perkembangan masyarakat Labuhanbatu, khususnya dalam dunia pendidikan.
Hadirnya buletin ini juga patut disyukuri bersama sebagai bukti nyata kepedulian putra-putri daerah Labuhanbatu dalam membangun kampung halamannya tercinta Labuhan Batu, karena nasib banga ini bertumpu di tangan para generasi muda tersebut, semoga bisa menjadi pemicu bagi bangkitnya dunia pendidikan di Labuhanbatu secara umum.
Buletin yang memuat beragam wacana seputar pendidikan baik di Yogyakarta maupun di daerah lain, disamping wacana yang lain yang dalam beragam muatannya akan dapat memberikan gambaran bagi putra-putri daerah Labuhan batu baik yang berdomisili di Labuhan batu maupun yang berada di luar daerah untuk dapat memberikan kajian yang tepat dan mengambil peran-peran strategis bagi masa depan masyarakat Labuhanbatu kelak dimanapun mereka berada.
Pemberdayaan beragam potensi di kabupaten Labuhanbatu di era otonomi daerah ini akan sangat membutuhkan peran dan kerjasama yang saling mendukung antar seluruh stake holders dan berbagai elemen masyarakat, baik pembuat dan pelaksana kebijakan, pelajar, mahasiswa, pemuda, dan seluruh elemen masyarakat yang lain sehingga akan tercipta masyarakat yang Labuhanbatu yang harmonis, damai dan maju serta berkeadilan sosial sebagaimana telah menjadi cita-cita kita bersama.
Akhir kata, semoga buletin ini tidak hanya sebatas menjelaskan gambaran dunia pendidikan secara tepat kepada putra-putri Labuhanbatu, namun juga dapat menjadi semangat baru bagi upaya pemberdayaan masyarakat di Labuhanbatu pada umumnya. Selamat berjuang!
Rantauprapat, Februari 2005
Bupati Labuhanbatu

Assalammu’alaikum wr.wb
Salam sejahtera
Semoga Tuhan Yang Maha Esa selalu melimpahkan rahmat dan hidahnya kepada kita semua. Dalam kesempatan ini izinkanlah saya mewakili kawan-kawan IPMALAY kembali mengajak kawan-kawan dalam hubungan silatuhrahmi dan kekeluargaan. Saya atas nama kawan-kawan IPMALAY mengucapkan terima kasih pada kawan-kawan yang telah mau meluangkan sedikit waktu ditengah-tengah kesibukan berbagai aktivitas yang mau ikut hadir dan berperan aktif dalam menyukseskan kongres IPMALAY yang kita selenggarakan. Adapun kongres IPMALAY diadakan yaitu sebagai mediator dalam memperbaiki berbagai sistem diitubuh IPMALAY dan persoalan-persoalan yang ada.sekaligus menciptakan moment menting bagi perkembangan IPMALAY di masa yang akan datang. Untuk itu kami mengharapkan masukan, kritik dan ide-die dari kawan-kawan yang tentunya akan bermanfaat bagi perkembangan IPMALAY itu sendiri.
“keberhasilan suatu pertempuran sangat ditentukan oleh penguasaan kita terhadap medan pertempuran itu sendiri, seberapa besar kemampuan kita dan seberapa hebat musuh yang harus kita hadapi, serta medan pertempuran yang akan kita jalani, apa, kapan, dan dimana.”
Filosofis di atas inilah yang kemudian mengilhami kami untuk menerbitkan warta Chandradimuka, sebagai sedikit panduan ataupun gambaran kecil terhadap medan pertempuran yang mengkin akan kalian hadapi kedepan.
Dalam dua tahun usia Chandradimuka telah memberikan cukup waktu bagi kami untuk sedikit mengevaluasi eksistensi kita disini. Kita sama-sama mengetahui fakta yang cukup memprihatinkan bahwa secara kuantitatif eksistensi alumni kita sangat minim, terutama pada PTN-PTN di Jawa. Kesimpulan ini kami ambil dari beberapa diskusi yang dilakukan baik secara internal, maupun bersama teman-teman lain dari beberapa daerah di jawa seperti Bandung dan Bogor. Hipotesis pertama yang kami ambil adalah bahwa minimnya minat alumni untuk berusaha menembus PTN di Jawa, penyeban utamanya adalah kurangnya informasi yang cukup untuk kemudian mengambil keputusan untuk berusaha sekeras mungkin menembus PTN-PTN di Jawa. Hipotesis inilah yang kemudian kami coba untuk dicarikan solusinya. Solusi akhir yang kami temukan adalah sebuah usaha yang maksimal dalam rangka sosialisasi kondisi atau gambaran secara umum bagaimana kuliah di Jawa. Sosialisasi ini kemudian direalisasikan, salah satunya melalui sebuah media yang kemudian kami beri label warta Chandradimuka. Format ini kami harapkan cukup efektif umtuk mencapai tujuan sosialisasi yang kami maksud.
Paling tidak, melalui media ini kami berharapan besar dapat memberikan gambaran secara umum tentang dunia perkuliahan di Jogya, UGM pada khususnya, bagaimana kehidupan di Yogya mulai dari biaya hidup sampai pada fasilitas-fasilitas yang bisa kita dapatkan disini. Disamping itu, kami juga memberikan gambaran tentang mahasiswa peran dan fungsinya dalam masyarakat, rutinitas dan keseharian, serta kesulitan-kesulitan yang mungkin kita hadapi.
Diharapkan pula dengan usaha ini kiranya dapat mengantisipasi kemungkinan-kemungkinan kesalahan kalian dalam memilih dimana, universitas apa dan dijurusan apa kalian akan melanjutkan studi nantinya. Karena menentukan pilihan ini adalah satu hal yang sannngat sulit, membutuhkan banyak pertimbangan, mulai dari pertimbangan ekonomi, mental,kemampuan akademis, keluarga, minat dan bakat kalian. Pengalaman membuktikan, banyak dari para almuni kita mengalami kegagalan dalam studinya, kemudian ada yang tidak betah dan harus pindah daerah, universitas ataupun jurusan, ada juga yang kemudian kuliah tapi tidak kuliah semua ini tentunya diakibatkan oleh perhitungan yang kurang matang dan ketergesah-gesahan. Jadi, melalui media ini kami berusaha untuk memberikan sedikit pedoman dan bimbingan kepada anda-anda untuk menentukan pilihan. Oleh karena itu kami menghimbau kepada adik-adik agar jangan segan-segan untuk menanyakan apa yang kalian tidak tahu, dan kami akan berusaha memberikan apa yang kami tahu. Untuk itu kami telah membuka segala jalur komunikasi yang mungkin bisa kami lakukan baik secara personal (langsung kepada orang-orang tertentu) atau melalui organisasi (Chandradimuka).
Kami sangat menyadari sepenuhnya bahwa masih banyak kekurangan disana-sini. Tapi inilah usaha maksimal kami dalam segala keterbatasan dan kekurangan yang ada pada kami. Dan untuk itu ada kesepakatan di antara kami untuk tetap berusaha meningkatkannya dimasa yang akan datang. Kami juga menerima segala bentuk kkritik dan saran yang sifatnya membangun demi kebaikan kita bersama.
Akhirnya, puji syukur yang sebesar-besarnya kepada Allah SWT atas segala rahmat dan karuniaNya, kemudian terima kasih dan penghormatan yang setinggi-tingginya kepada orang tua kami, guru-guru kami dan masyarakat Labuhan Batu pada umumnya atas semua yang telah diberikan kepada kami, serta penghargaan kepada seluruh saudara dan rekan-rekan kami atas dukungan motil dan materil terhadap apa yang telah kami lakukan, sehingga kami dapat menyelesaikan terbitan perdana ini.





Draft Sambutan Bupati Labuhanbatu
Berkaitan dengan terbitnya Buletin IPMALAY

Tampan Kembara.jpg

Ortodoksi Negara
Pengantar
Dibagian pertama tulisan ini masih mencoba untuk mendiskusikan persoalan kebijakan sebagai suatu ortodoksi, sebuah mainstrem yang mapan. Kebijakan, oleh para penulisnya, dimaknai sebagai prosedur yang dilaksanakan oleh agen berfikir yang bekerja secara rasional dan komprehensif. Agen kebijakan, dalam hal ini aparat, bekerja atas nama negara. Diskusi di bagian ini diawali oleh tulisan Hendrie Adji Kusworo dan Janianton Damanik tentang peningkatan n-Ach dari aparatur birokrasi. Tulisan kedua yang dipaparkan oleh Ambar Teguh Sulistiyani membincangkan tentang pengaruh dari setting besar global dalam perkotaan, sehingga setting kebijakan tatakota menjadi sedemikian penting. Diskusi dibagian pertama ini kemudian ditutup oleh Ana Nadhya Abrar yang mempertanyakan kembali keperpihakan pemerintah dan komunikasi dalam sebuah kebijakan.
Kebijakan publik oleh penulis dibaca dalam lingkar otoritas negara, persoalan yang muncul selama ini disebabkan oleh kompetensi aparat yang tidak memadai atau juga karena pilihan agenda setting yang kurang tepat. Dalam tulisan ke-1 yang mengkritisi kebijakan kepariwisataan, selama ini kurang optimalnya pengembangan kepariwisataan disebabkan rendahnya kompetensi dari aparatur negara yang menangani serta minimnya lembaga formal yang diciptakan pemerintah. Pelatihan kepada aparatur menjadi sebuah keharusan untuk meningkatkan semangat untuk berprestasi, untuk meningkatkan pariwisata. Tersedianya lembaga formal dan aparat yang berkompeten akan dapat melancarkan agenda kebijakan yang telah dibuat.
Persoalan tataruang kota yang tentu membawa implikasi sosial menjadi tanggung jawab pemerintah juga untuk mengaturnya. Yang terpenting untuk dipahami, bahwa selama ini problem-problem perkotaan justru timbul dari kebijakan yang kurang relevan dan memiliki pengaruh yang sangat besar pada tatanan sosial, ekonomi maupun politik. Begitu juga dengan persoalan perburuhan yang sebagian justru tidak akomodatif terhadap buruh, pemerintah lebih berpihak kepada aspirasi pengusaha daripada buruh. Kepekaan terhadap persoalan buruh selama ini justru terhalang oleh organisasi buruh yang justru dibentuk pemerintah sendiri. Sekali lagi negara perlu melakukan evaluasi pada kebijakanya, sebuah tahap dalam proses linear selanjutnya yang biasa dilakukan.
Dari ketiga tulisan tersirat jelas bahwa pemerintah bisa menjadi sumber solusi atau juga sumber masalah pada kebijakan publik. Dalam konteks ini pemerintah menjadi aktor utama pada proses-proses penentuan kebijakan, yang tentunya akan membawa konsekuensi tersendiri, baik atau buruk. Negara yang didalamnya terdiri oleh agen berfikir yang rasional dan mampu menjalankan prosedur secara komprehensif tentu diharapkan mampu menyelesaikan segala persoalan. Pesan dari ketiga tulisan ini adalah, seharusnya dilakukan evaluasi kebijakan sesuai dengan tahapan prosedur yang harus dilakukan, berulang dan lebih sensitif dalam membuat agenda setting kebijakan.

BY CATHERINE LIM

“Ini adalah kisah pahit-manis tentang cinta terlarang. Jika anda menyukai Wild Swans, anda akan menyukai buku ini.”
-Company Magazine-

“Kisah Melayu yang syahdu tentang keluarga yang percaya takhayul dan kakak-beradik yang menderita karena cinta.”
-Marie Claire-

“Cerita pahit tentang cinta dan napsu di tanah yang mengalami kekejaman penjajahan Jepang dan penderitaan akibat teroris. Kisah menakjubkan yang penuh dengan detil indah dan Mei Kwei adalah tokoh yang menyenangkan dan penuh semangat.”
-Publishing News-

“Sangat menyentuh... eksplorasi tulisan yang indah tentang arti cinta, memberikan wawasan mengenai sebuah kebudayaan yang berbeda dari pengalaman kita sebagai wanita.”
-Woman’s Realm-

“The Teardrop Story Woman adalah cerita tentang cinta terkutuk di saat kebudayaan dan politik mengalami goncangan... gambaran buram tentang perjuangan wanita untuk bertahan hidup di dalam peradaban yang didominasi kaum lelaki.”
-Sunday Times-

Sang Pemimpi …

Dari Andrea Hirata “seorang yang cerdas menurutku”

(Prolog)

Aku telah menghabiskan demikian banyak waktu untuk novel keduaku ini bukan untuk menulisnya—hanya membutuhkan tak lebih dari empat minggu—melainkan untuk mempertanyakan pada diriku sendiri tentang teori kurva belajar (learning curve) yang dengan sangat kurang ajar kureka-reka sendiri. Awalnya, aku ingin sekali, agar setiap buah pikiran yang ada dalam setiap paragraf yang kuhaturkan kepada Anda merupakan bagian dari suatu pencerahan karena aku telah mempelajari semua aspeknya dengan saksama. Tapi rupanya aku ini bukan Truman Capote yang mampu melihat intelejensia pada setiap gelembung peristiwa lalu menulisnya dengan presisi yang mengagumkan.
Maka kurendahkan sedikit standar di atas dengan mencoba menisbikan kompleksitas suatu fenomena lalu menyajikannya secara ringan tapi imajinatif tanpa mengorupsi esensi dari fenomena itu. Ini juga tak sukses karena ternyata aku bukan Antonio Skármeta.
Namun aku berkeras dengan teori learning curve versiku itu sebab aku begitu termotivasi untuk menjaga nilai-nilai yang menurutku seharusnya ada dalam sebuah buku: ilmu, semangat, integritas, keberanian bercita-cita, dan ajakan untuk tidak menyerah pada rintangan apa pun. Klasik memang, tapi apa boleh buat. Hanya hal-hal seperti itulah yang menarik minatku untuk menulis. Lagi pula aku telah menemukan daya tarik yang tak habis-habisnya dari gaya menulis secara realis. Motivasi jenis ini merupakan warisan pelajaran mutiara raja brana, harta berkilauan tak ternilai yang kudapat dari dua orang guruku di sebuah sekolah dasar yang hampir rubuh, dan akhirnya benar-benar rubuh: Ibu Muslimah Hafsari dan Bapak Harfan Efendy Noor. Anda akan berkenalan dengan orang-orang gagah berani ini, para ksatria pendidikan yang terabaikan ini jika Anda sempat membaca buku pertamaku Laskar Pelangi.
Akhirnya yang kulakukan adalah memetakan saja setiap titik dari kurva belajarku sejak mula lalu menulisnya dengan berusaha memperhitungkan secara teliti implikasi emosi dari setiap bab. Dramanya dimulai dari kelas satu SD sampai kelas tiga SMP, dan yang kudapat adalah Laskar Pelangi. Sebagai bagian dari tetralogi Laskar Pelangi, maka novel Sang Pemimpi di tangan Anda ini bercerita tentang kelanjutan perjuangan tokoh-tokoh menarik yang ada di dalamnya sejak mereka remaja SMA. Lalu lihatlah bagaimana dahsyatnya tenaga dari mimpi orang-orang muda itu sehingga membawa mereka pada penaklukan-penaklukan yang tak terbayangkan.
Sebagai seorang anak Melayu, menceburkan diri ke dalam samudra sastra bagiku sama rasanya seperti menggoda sarang tawon.
“Bangsa Melayu adalah bangsa pujangga. Pikirkan seratus kali daripada tulisanmu hanya akan mencemari nama nenek moyangmu,” demikian pesan seorang kritikus.
Sehingga menulis memoar seperti Sang Pemimpi ini, di bawah jajahan insomnia yang parah, kata-kataku menjelma menjadi seekor hewan teritorial yang liar. Setengah mati aku memaksanya keluar dari liangnya untuk membebaskan diriku dari keakuan agar aku tak menjadi narsis, kelelahan aku menjaganya untuk tak melintasi teritori itu agar tak tercabik-cabik dilibas literatur populer yang perkasa mengangkangi dunia buku dewasa ini, terhuyung-huyung aku berusaha tegak dalam teritoriku demi reputasi para nenek moyangku, dan yang paling menggemaskan, belum tentu akan ada penerbit buku—yang merupakan bagian dari kaum kapitalis itu—yang berminat menerima karyaku yang tak sudi tunduk pada selera pasar ini.
Maka inilah Kawan, dengan gagah berani, kupersembahkan kepadamu Sang Pemimpi. Terutama terdorong oleh daya juang tokoh-tokoh dalam cerita ini: Arai dan Ikal. Tak gentar mereka mengibarkan mimpi-mimpinya di bulan ketika kaki-kaki muda mereka yang kumal dan telanjang masih terbenam di dermaga Magai, nun jauh di pulau terpencil Belitong sana, untuk menyambung hidup, untuk membiayai sendiri pendidikannya. Bagaimanakah nasib akan memperlakukan mereka?

Bagian yang paling menarik dalam riset saat menulis buku ini adalah saya menemukan ternyata perjalanan nasib seseorang tak ubahnya seperti ekstrapolasi potongan-potongan mozaik. Mozaik-mozaik itu terserak dalam berbagai dimensi ruang dan waktu tapi nanti perlahan-lahan, secara misterius, ia akan berkumpul membentuk eksistensi orang tersebut. Inspirasi terbesar dari pengetahuan itu mulanya dicetuskan oleh guru kesusastraan SMA saya yang hebat: Bapak Julian Ichsan Balia.
Dalam konteks dunia buku saat ini, menulis dan mungkin membaca buku seperti ini diperlukan keberanian. Namun, jika Anda seorang yang juga tak mudah surut menghadapi carut marut hidup ini—seperti Arai dan Ikal—senang dengan tantangan, menyukai letupan-letupan mara bahaya, harapanku adalah Anda dapat berdendang seirama genderang kata yang kutabuh, Anda dapat menari serancak imajinasi, melantun seindah gurindamku, tersenyum, tertawa, terharu, dan menangis bersama tokoh-tokoh jujur, para patriot kehidupan sehari-hari, di dalam buku ini. Sebaliknya bagi Anda yang berminat menulis buku semacam ini, jangan biarkan pena Anda bertekuk lutut. Teruslah menulis, kabarkan kebenaran, walaupun Anda terancam bangkrut.
Laskar Pelangi, Sang Pemimpi, dan dua novel lagi yang sedang kutulis secara simultan saat ini dengan judul Edensor dan Maryamah Karpov—novel terakhir ini tentang penghormatan pada kaum perempuan—merupakan tetralogi Laskar Pelangi yang kuanggap sebagai proyek seni pribadiku untuk Belitong, pulau kecil kelahiranku nun di serambi Laut China Selatan sana. Meletakkan budaya orang Melayu dan Tionghoa pedalaman di Belitong sebagai platform untuk mendefinisikan tetralogi itu merupakan elemen yang paling menggairahkanku. Ingin rasanya mampu menulis buku-buku yang mampu menghidupkan karakter dan budaya. Sayangnya aku ini bukan Alexander McCall Smith.
Keep fighting

Involusi Politik …

Kotak Pandora dan Involusi Politik
Alkisah, pada masa penciptaan, setelah memenuhi bumi dengan tumbuhan dan makhluk hidup, Eros, salah satu dewa Yunani merasa perlu untuk membekali makhluk ciptaannya dengan instink agar mereka bisa melindungi dan menikmati kehidupan. Prometheus dan Epimetheus, dua bersaudara anak termuda dewa Lapetus, diminta Eros membantunya mewujudkan hal di atas. Eros menugaskan mereka untuk melakukan dua hal: membagi-bagikan hadiah pada makhluk ciptaan para dewa sehingga mereka dapat melindungi dan menikmati hidup yang telah diberikan; dan menciptakan makhluk yang lebih unggul dibandingkan dengan makhluk-makhluk ciptaan lainnya yang telah ada. Untuk tugas yang kedua ini, Prometheus dan Epimetheus berhasil membuat sebuah bentuk dari tanah liat yang menyerupai gambar para dewa. Makhluk gambaran dewa ini kemudian oleh Eros diberi “nafas kehidupan”, sementara Minerva, dewa lainnya, memberikan “jiwa”. Makhluk ini akhirnya dieja sebagai manusia -- makhluk yang sejak dini diniatkan untuk menguasai dan berada di atas makhluk ciptaan lainnya.
Untuk tugas yang pertama, setelah berbagai hadiah yang memungkinkan makhluk ciptaan yang ada bisa melindungi diri dan menikmati kehidupan sudah dibagi-bagikan kepada makhluk ciptaan, Prometheus dan Epitheus baru menyadari bahwa tidak ada lagi “hadiah” yang tersisa untuk diberikan pada makhluk manusia yang baru diciptakan. Prometheus, terus bergelut dengan pemikirannya untuk menemukan sesuatu yang bisa diberikan pada manusia – sesuatu yang memungkinkan mereka menjadi “tuan” atas makhluk-makhluk ciptaan lainnya; sesuatu yang memungkinkan mereka mendekati kesempurnaan makhluk abadi: dewa. Ia akhirnya sadar bahwa “api” akan menjadi hadiah yang tak ternilai harga. “Kekayaan berupa api ini” akan menempatkan manusia berada di atas segala makhluk lainnya. Penguasaan atas api menjadi dasar pembeda antara manusia dan makhluk ciptaan lainnya.
Tetapi gagasan Prometheus dihadapkan pada kenyataan api adalah harta eksklusif milik para dewa yang tidak mungkin dibagikan dan tidak akan diberikan secara sukarela oleh para dewa kepada makhluk manusia karena juga menjadi harta pembeda antara para dewa dengan makhluk ciptaannya. Karenanya jalan yang tersedia bagi dia adalah mengambil api tanpa sepengetahuan para dewa. Sekalipun menyadari resiko yang ditimbulkan untuk mengambil api dengan mencuri, Prometheus telah berketetapan hati untuk mendapatkannya lewat pintu belakang, apapun resikonya, guna memberikan kepada manusia hadiah yang menyimpan kekuasaan sangat istimewa – api -- yang memungkinkan manusia mencapai tingkat kesempurnaan hampir setara dengan para dewa.
Promotheus akhirnya berhasil mendapatkan api lewat jalan belakang dan memberikannya pada manusia, sekalipun akhirnya ia harus menghadapi sebuah hukuman tak tertanggungkan yang dijatuhkan Yupiter, raja para dewa yang bersemayam di pucuk gunung Oplympus. Ia menemukan dirinya dalam siksaan abadi di kawasan pegunungan Kaukus, hingga akhirnya, Hercules, anak Jupiter dan Alcmene membebaskannya.
Jupiter, tidak hanya menghukum Prometheus, tapi juga manusia karena telah berani menerima api nirwana. Tapi rencana awal untuk menghukum manusia dengan kekuatan api – lewat petir -- dibatalkan karena dapat menghanguskan bukan bumi tempat manusian dan makhluk lainnya hidup, tapi juga nirwana tempat para dewa bersemayam. Karenanya, dengan tetap menggenggam keinginan kuat untuk memberikan hukuman bagi manusia, Jupiter meminta persetujuan para dewa untuk menciptakan “perempuan” bagi manusia sebagai hukumman. Akhirnya lewat kerja kolektif dengan menyertakan semua kemampuan para dewa, seorang perempuan yang sempurna, yang akhirnya disepakati diberi nama Pandora tercipta. Pandora, dikirimkan kepada Prometheus yang menolak menerimanya karena sangat yakin tak ada hal baik yang diberikan para dewa bagi dirinya setelah apa yang dilakukannya. Tetapi saudaranya, Epimetheus, berpikiran sebaliknya: Pandora diterima sebagai pasangan dan mereka hidup dengan bahagianya pada hari-hari awal pertemuan.
Di tengah-tengah keduanya sedang menikmati kebahagiaan dengan berdansa, muncul Mercury, utusan Jupiter yang sedang memanggul sebuah kotak besar. Sebuah kotak yang sudah diingatkan Jupiter tidak boleh dibuka. Kotak ini, segera saja memicu rasa ingin tahu Pandora. Karenanya, ketika Mercury meminta bantuan keduanya untuk menjaga sementara kotak yang ada, kata sepakat dengan segera diperolehnya.
Daya pikat kotak ini sedemikian kuatnya, membuat Pandora, untuk pertama kalinya menolak ajakan pasangannya untuk bergabung dengan para sahabat mereka dalam pesta yang meriah. Dorongan ingin tahu akhirnya membawa Pandora secara diam-diam membuka kunci pengaman, dan ia mendengar suara bisikan yang terus berualang: “Pandora, dear Pandora, have pity upon us! Free us from this gloomy prison! Open, open, we besech you!”. Degup jantung Pandora bertambah cepat; tapi ia langsung menyadari ada suara langkah yang sangat dikenalnya: langkah sang pasangan Epimetheus. Ia sangat tahu bahwa sang pasangan akan kembali memintanya untuk bergabung dengan para sahabat dalam pesta yang sedang digelar. Karenanya, pada saat paling akhir, Pandora memutuskan untuk mengintip ke dalam kotak yang ada: Ia membuka penutup kotak dan dengan segera sejumlah makhluk kecil jahat bersayap coklat berhamburan keluar mengenai dirinya dan sang pasangan, terus berhamburan melalui pintu dan jendela yang terbuka, menjangkau para sahabat, dan terus menyebar dengan cepatnya ke berbagai kawasan. Ternyata, makhluk-makhluk yang bertebaran adalah penyakit, kesedihan, kejahatan dan berbagai jenis tingkah laku imoral (vices). Begitu tersentuh makhluk-makhluk yang ada, untuk pertama-kali Pandora dan Epimetheus merasakan sensasi dari rasa sakit dan amarah; sensasi yang belum pernah dirasakan sebelumnya. Sesaat setelah makhluk-makhluk kecil itu pergi, untuk pertama-kalinya mereka bertengkar. Dunia indah-damai yang mereka kenal sebelumnya, kini hilang entah kemana.

Tetapi di tengah-tengah pertengkaran pertama di atas, mereka mendengar suara sayup-sayup rintihan penuh belas kasihan dari dalam kotak yang sama: “Open, open, and I will heal your wounds! Please let me out!”. Keduanya saling berpandangan dan setelah mendengar kembali keluhan yang sama, Epimetheus memerintahkan pasangannya untuk kembali membuka kotak yang ada. Pandora menurut, dan untuk kedua kalinya kotak dibuka: dan keluarlah “harapan” dari dalamnya yang segera menyaput kesakitan dan kemarahan yang dialami keduanya. Harapan akhirnya, menjadi kekuatan yang senantiasa mengekori kemanapun perginya “makhluk kecil jahat bersayap coklat”: keduanya menjadi kekuatan-kekuatan yang hadir bersisihan dalam kehidupan manusia.[i]
Mitologi Kotak Pandora di atas, mungkin bisa dijadikan sebagai metafora – sekalipun tidak sepenuhnya bisa menggambarkan realitas perkembangan Indonesia karena dunia ideal sebelum dibukanya Pandora tidak dikenal dalam sejarah masa lalu Indonesia-- untuk menggambarkan realitas perkembangan Indonesia dalam tahun-tahun awal era Reformasi ini. Pandora adalah Reformasi, yang membuka kotak – selubung otoritarianisme Orba – yang menahun. Pembukaan selubung Otoritarianisme Orba telah membawa ke permukaan semua kebobrokan yang terpendam sangat dalam dan terbungkus sangat rapih di lahan politik Orde Baru selama lebih dari 32 tahun. Semua kebobrokan yang pernah dikenal peradaban politik umat manusia kini berhamburan dengan sangat cepat ke permukaan menjangkau sembarang orang, sembarang kawasan, bahkan sembarang sektor kehidupan masyarakat Indonesia. Kisah perluasan secara cepat korupsi yang pemberitaannya menteror akal dan hati nurani kita dalam beberapa tahun ini, terutama dalam beberapa bulan terakhir ini adalah bentuk kongkrit dari penyebaran “makhluk kecil jahat bersayap coklat”. Pendalaman dan penyebaran korupsi secara geografis ke daerah-daerah seiring dengan tercabiknya selimut sentralisasi untuk digantikan dengan desentralisasi sudah memunculkan pandangan sinis mengenai “desentralisasi KKN”. Sinisme ini ditopang secara sangat sempurna oleh berbagai data penyelah-gunaan kekuasaan di tingkat lokal yang antara lain diekspresikan oleh meluasnya apa yang disebut “korupsi berjamaah” di banyak daerah. Sementara penyebarannya ke ranah dan sektor lain di luar kawasan klasiknya, yakni negara – birokrasi --, seiring dengan terjadinya pergeseran locus politik dari birokrasi ke parpol (parlemen) telah berakibat pada meluasnya kekecewaan dan ketidak percayaan publik atas lembaga-lembaga demokrasi. Gugatan dan sinisme yang terus meluas atas peran negatif parpol dan parlemen sudah menjadi kisah setiap hari yang kita dengar yang dikukuhkan oleh berbagai survei. Kisah “korupsi berjamaah” ala KPU – jika ini terbukti tentunya – sekadar mengamini kisah terdahulu yang berlangsung di lingkaran political society yang ditandai oleh perlombaan para wakil rakyat ke bui-bui negara. Kisah korupsi KPU hanya memperluas spektrum KKN, dari birokrasi (sipil dan militer) yang selalu disembunyikan selama Orba, merambah terus ke kawasan economic society – kisah dramatis yang melibatkan lebih dari 650 triliun rupiah dalam kasus kredit perbankan --, ke political society – kasus anggota dewan dan para eksekutif asal parpol atau yang didukung parpol – dan kini mulai menjangkau simbolisasi civil society – KPU yang basis keanggotaannya berasal dari perguruan tinggi dan aktivis LSM, setelah sebelumnya kasus koordinator Gowa, Farid Faqih.
Sementara konflik di berbagai arena, dengan berbagai sebab terus menjadi kisah tak terurus hingga hari ini.[ii] Hubungan konflik yang serius antara negara dan masyarakat dan bahkan antara sesama aktor negara di ranah kebijakan publik[iii] mengalami pendalaman dan perluasan hingga menjangkau daerah-daerah yang ditandai oleh muncul dan meluasnya konflik antara eksekutif dan legislatif[iv].
Kisah “makhluk kecil jahat bersayap coklat” masih bisa dideretkan hingga menjangkau bilangan tak terhingga: mulai dari aneka penyakit, termasuk polio yang sudah dinyatakan masa lalu, bencana lepas bencana – termasuk busung lapar yang kini mendominasi pemberitaan publik -- yang hampir tak masuk dalam akal sehat kita – lebih dari 150 orang mati sia-sia tertimbun kotoran dan mungkin merupakan satusatunya kisah paling ajaib dalam sepanjang sejarah peradaban --, dan meluasnya perilaku amoral dalam masyarakat adalah sejumlah contoh kecil dari dibukanya kotak oleh Pandora – kotak otoritarianisme oleh kekuatan reformasi.
Yang tampaknya tersisa dalam tujuh tahun terakhir ini, adalah tak sama halnya dengan Pandora dan Epimetheus, kita tidak sempat mendengar lamat-lamat suara lain dari balik selubung otoritarianisme yang sudah tertutup kembali. Kita tak mendengar suara “harapan” yang terus merintih – kita tak pernah belajar dari pengalaman Orba. Karenanya, kita – tak seperti halnya Pandora dan sang pasangan Epimetheus – selimut Orba tak kita sibak lagi untuk yang kedua kali yang – sebagaimana kisah Pandora – bisa membebaskan “harapan” sebagai kekuatan lain yang terus memburu – sekalipun senantiasa terlambat di belakangnya – kemanapun perginya penyakit, kejahatan, tingkah-laku immoral, dan sebagainya -- makhluk kecil jahat bersayap coklat .
Kita menyaksikan setiap hari kesibukan diri masing-masing: warga lapisan atas partai saling bertengkar diikuti disintegrasi antara elit parpol dan warganya di akar rumputnya, mengungkapkan disintegrasi yang sangat serius pada level political society. Civil society juga terjebak pada proses disintegrasi dan pelemahan diri yang terus berlanjut. Intervensi berbagai variabel, mulai dari kekerasan hingga politik primordial ke lahan civil society berujung pada tercabik-cabiknya ranah ini. Hal ini membuat investasi maha besar ke arah penguatan civil society lebih banyak berakhir sebagai proyek ketimbang sesuatu yang sungguh-sungguh bermanfaat bagi tujuannya sendiri. Publik secara keseluruhan lebih memusatkan energinya pada apa yang nampak di depan mata mereka, apa yang terjadi hari ini. Hal ini semakin diperburuk oleh daya ingatan kolektif publik yang begitu singkatnya. Akibatnya, negara dan economic society yang begitu benderang sebagai sumber malapetaka bangsa di masa lalu karena watak-watak koruptif, kolutif dan nepotistiknya, kini justru dipercaya bertindak sebagai juri bagi penyimpangan dunia political society dan civil society. Ekspos tentang watak setan political society dan civil society yang sedemikian dramatis dalam beberapa saat terakhir ini, membikin apa yang dikerjakan negara dan economic society terhapus dengan mudah dari ingatan sejarah khalayak ramai Indonesia. Kita hampir-hampir tak mendengar dunia birokrasi dan dunia usaha kita terjerembab ke dalam sel dan bui-bui negara. Kalaupun ada, begitu minornya. Yang ada justru gelegar suara makian ke political society dan political society: dua entitas yang baru saja bisa tumbuh setelah sangat lama tenggelam dalam penindasan otoritarianisme Orba. Lebih dari itu, kasus-kasus yang bermunculan telah membawa persepsi publik pada keyakinan: institusi-institusi dan mekanisme demokrasi – parpol, parlemen, KPU, dan sebagainya – adalah kata lain dari omong kosong yang harus dikubur sekarang ini juga. Kesemuanya adalah “makhluk kecil jahat bersayap coklat”.
Merosotnya secara dramatis kepercayaan pada lembaga-lembaga dan sekaligus mekanisme demokrasi – parpol, pemilu dan parlemen, berikut aneka raut civil society lainnya -- pada fase yang sedemikian infant-nya, menjadi investasi negatif bagi proyek sejarah bagi Indonesia masa depan: sebuah Indonesia yang demokratis, berkemakmuran, berkeadilan dan berkeadaban. Pada fase inilah, penulis teringat pada penggambaran Geerzt[v] yang suram mengenai petani Jawa dan Bali yang terjebak dalam involusi tanpa kesudahan. Pengalaman tahun-tahun awal transisi kita mengungkapkan, lebih luas dari yang digambarkan Geertz, Indonesia sedang mengahadapi involusi di sembarang sektor dan di sembarang ruang di republik ini.[vi] Dan hasilnya pun sangat nyata, “kemiskinan” dan “distribusi kemiskinan” di berbagai sektor. Di ranah politik, ia menjadi kemiskinan politik.
Buku ini adalah buku tentang keterjebakan, tentang keterpenjaraan, tentang involusi Indonesia dalam tahun-tahun pertama Reformasi. Bab-bab yang disajikan dalam tulisan ini adalah makalah-makalah yang disampaikan penulis di berbagai kesempatan diskusi atau seminar – kecuali Bab 2 -- antara tahun 1998 hingga 2000. Masing-masing bab menggambarkan persoalan yang dihadapi pada periode penulisan makalah serta perkiraan ke depan berdasarkan argumentasi dan informasi yang tersedia hingga saat makalah dipresentasikan. Secara sengaja naskah dalam buku disajikan sebagaimana naskah aslinya dengan sedikit pengecualiaan, yakni penambahan pada sejumlah bagian yang bersumber pada catatan-catatan penulis ketika menjawab pertanyaan pada sesi diskusi yang berlangsung pada masing-masing kegiatan seminar/diskusi. Terdapat juga satu bab yang merupakan penggabungan dari dua makalah yang disampaikan pada dua kegiatan yang berbeda, yakni bab 6. Penggabungan dilakukan karena substansi yang dibicarakan berhimpitan, dan bahkan merupakan sekuens yang berkaitan antara satu dengan yang lain. Perubahan besar yang akan dirasakan pembaca, terutama bagi yang pernah membaca makalah-makalah aslinya – kecuali untuk bab 2 yang sudah dipublikasikan lewat Prisma No. 4, April-Mei, 1997, adalah pada catatan kaki dan penambahan box ilustrasi.
Kebanyakan makalah penulis untuk kepentingan seminar melalaikan penyertaan catatan kaki, baik yang diperlukan sebagai referensi maupun yang diperuntukkan bagi penegasan konteks. Menyadari kelemahan di atas, penulis memutuskan untuk menambahkan catatan kaki guna memudahkan pembaca dalam merujuk karya lainnya, maupun dalam memahami dari sebuah argumen.
Buku ini dibagi ke dalam empat (4) bagian besar, pertama, Catatan Pembuka, yang terdiri dari dua (2) bab, masing-masing Kisah Kotak Pandora dan Involusi Politik; dan Jalan Politik Yang Tersumbat: Rekruitmen Elit Menjelang Jatuhnya Soeharto. Bagian Kedua, Meretas Jalan Perubahan, yang terdiri dari lima (5) bab, masing-masing, Perubahan Konstitusi; Pemilu; Moratorium Politik; Modal, Pemodal dan Demokrasi; dan Kebebasan Informasi dan Demokrasi. Bagian ketiga, Yang Berubah, terdiri dari dua (2) bab, yakni Konfigurasi Politik Pasca Soeharto: Peta Awal dan Perubahan dan Pergeseran. Bagian Penutup, Agenda yang Tertinggal, terdiri dari satu (1) bab, Korupsi, Kolusi dan Nepotisme.
Bagian Pertama, Bab 2 merupakan karya penulis yang sudah diterbitkan dalam Prisma No. 4, April-Mei, 1997 yang menyoroti proses rekruitmen elit di Indonesia beberapa tahun sebelum Orba runtuh. Penyertaan tulisan ini penulis anggap penting guna memberikan gambaran bahwa proses keruntuhan Orba bukan peristiwa satu malam. Persoalan-persoalan serius yang bercorak struktural sudah kronis jauh sebelumnya, dan dengannya, reformasi dapat dibaca sebagai momentum mengungkapan secara massif – pembukaan kotak Pandora -- persoalan struktural yang sudah sangat mendalam dalam tubuh sistem sosial Indonesia secara keseluruhan. Dan karenanya, dapat banyak menjelaskan keawetan dari proses involusi politik itu sendiri.
Bagian Kedua dimulai dengan bab 3 mengenai perubahan konstitusi, urgensi, serta substansi perubahan itu sendiri. Amandemen UUD 1945 dipandang penting sebagai syarat untuk memfasilitasi proses transformasi dari liberalisasi politik menuju ke arah demokratisasi. Lebih jauh, diskusi dikerucutkan pada komparasi tentang HAM dan hak-hak politik warga negara serta gagasan-gagasan mengenai konstitusi modern-demokratis dalam bingkai perubahan konstitusi. Perspektif komparatif digunakan untuk memberikan gambaran bagi Indonesia bahwa realitas ideal yang dipraktekkan oleh banyak negara modern di dunia telah membuktikan pentingnya sebuah konstitusi modern yang demokratis. Bab ini dilanjutkan dengan bab 4 yang memberikan penggambaran mengenai sentralitas Pemilu sebagai mekanisme mendasar ke arah demokrasi. Juga digambarkan secara cepat persoalan-persoalan lapangan dan aturan main dengan sejumlah kemungkinannya. Misalnya, persoalan di sekitar masih efektif bekerjanya struktur otoritarian dan oligarkhis di tingkat daerah, peran lembaga money politics, kondisi psikopolitik masyarakat, bekerjanya logika komunal dan politik angka, dan sebagainya yang potensial untuk melahirkan sejumlah masalah yang menghambat berjalannya proses transisi yang sedang berjalan.
Pada bab 5 dalam bagian ini didiskusikan mengenai moratorium politik. Dalam bab ini dielaborasi sejumlah agenda solusi sebagai akibat terjadinya distorsi proses reformasi. Tumbuh dan membiaknya secara tak terduga mutual distrust di kalangan elit politik dan pengelompokan politik sebagai sebuah wabah politik, merupakan salah satu sumber terjadinya distorsi reformasi. Akibatnya, fenomena disintegrasi elit politik sipil meluas dengan sangat cepat yang mengindikasikan terjadinya keretakan sangat serius dalam dunia political society. Persoalan kedua adalah pada penekanan berlebihan para elit dan pengelompokan politik pada usaha-usaha “perjuangan kekuasaan” sebagai substansi dari politik. Hal ini diperburuk oleh asumsi bahwa periode transisi merupakan persoalan mati-hidup dari diri dan kelompok masing-masing yang membikin setiap elit dan kelompok. Konsekuensi lebih lanjut, dan sekaligus sebagai akibat dari akumulasi pengalaman dan pengetahuan selama 32 Orba, pengunaan energi kekerasan dan anarkhi dipahami bukan saja sebagai solusi yang absah secara politis dan moral, tapi sekaligus diandaikan sebagai energi satu-satunya yang tertinggal. Agenda utama yang harus disusun kedepan adalah: pewajaran peristiwa politik, pembangunan kembali rasa saling percaya lintas elit, dan penghindaran pengunaan kekerasan.
Pembicaraan dalam Bagian Kedua ini dilanjutkan dengan bab 6 tentang bagaimana mempersiapkan masa depan ekonomi Indonesia dari sudut pandang politik, khususnya mengenai bagaimana peran sejarah pelaku dunia usaha di masa krisis menjelang pemilu 1999. Diskusi diawali dengan catatan reflektif atas praktek-praktek politik dan ekonomi selama Orde Baru. Perbincangan selanjutnya dalam bab ini lebih diintensifkan pada bagaimana dan apa peran pelaku dunia usaha dalam masa transisi ini, dengan titik perhatian pada syarat-syarat perubahan perilaku kapital yang diperlukan untuk menopang terbentuknya sistem politik demokratis yang stabil dan langgeng. Kekuatan modal harus memutar halauan dengan tidak memihak negara, melainkan melakukan investasi ke lahan politik dengan jalan mengalihkan sistem alokasi investasi sosial politiknya bagi investasi demokrasi.
Bagian kedua ditutup dengan bab 7 yang menguak sentralitas dari ”kebebasan informasi” dan ”hak masyarakat untuk mendapatkan informasi”. Bercermin pada pengalaman AS dan juga pengalaman Indonesia selama Orba, bab ini memberikan aksentuasi pada premis bahwa substansi dari pergulatan media massa bukanlah pada perjuangan untuk mendapatkan kemerdekaan dan kebebasan bagi dirinya, tapi justru terletak pada perjuangan untuk mendapatkan kebebasan informasi dan hak rakyat untuk mendapatkan informasi dan mengemukakan pendapat.
Dua Bab pada bagian ketiga, Yang Berubah, mencoba untuk memberikan gambaran awal mengenai perubahan peta kekuatan politik pasca kejatuhan Soeharto meski masih dalam konfigurasi politik yang premature (bab 8) dan mengelaborasi perubahan-perubahan politik mendasar yang terjadi selepas runtuhnya kekuasaan Soeharto (bab 9). Misalnya, terjadinya pergeseran secara drastis locus politik Indonesia dari birokrasi sipil dan militer ke arah sistem politik yang dikendalikan partai politik, yang mengakibatkan dominasi pendekatan state centered dengan intra-bureaucratic analisis dalam memahami Indonesia memudar. Pergeseran juga diungkapkan lewat kemunculan Islam sebagai kekuatan politik pokok yang menguasai struktur politik formal dan implikasinya baik ke dalam maupun keluar politik Islam itu sendiri.
Bagian Akhir buku ini, memuat satu bab yang mengelaborasi KKN sebagai persoalan super serius yang dihadapi Indonesia, berikut limitasinya didiskusikan dalam bagian ini. Beberapa perspektif untuk memahami gejala KKN. Apakah ia merupakan akibat negatif dari sebuah kesalahan pengelolaan kekuasaan? Apakah KKN merupakan ketidakabnormalan yang bekerja dalam satu sistem yang normal? KKN sering dikaitkan dengan kesalahan manajemen politik dan pemerintahan, kegagalan hukum memfasilitasi pemerintahan yang bersih, ketidak-normalan sistem remunerasi pejabat publik. Ada juga yang mereduksi KKN sebagai fenomena individual yang tidak punya relasi logis dengan struktur kekuasaan dan lepas dari kaitannya dengan isu hukum yang tak berdaya. Penulis sendiri berpendapat bahwa KKN, pertama, merupakan substansi pengelolaan politik selama Orba, “way of doing politics”. Pada level pemerintahan negara, KKN adalah the way of running government. Kedua, disamping politics of stick, bangunan politik Orba mampu tegak lama karena ditopang kapasitasnya menjalankan politics of carrot yang efektif dimana KKN embeded di dalamnya. Sebagai sebuah metode politik, KKN memiliki mekanisme proteksi diri, misalnya, melalui “kerumitannya” guna melindungi diri dari kemungkinan elemen subversif, seperti etika, moral. Penyudahan KKN membutuhkan perubahan secara total sistem yang dibangun untuk digantikan sesuatu yang baru dengan syarat, substansi persoalan harus mampu tersentuh. Perubahan pemerintahan harus diikuti penataan fundamental berbagai aspek penyelenggaraan negara, terutama reformasi birokrasi secara menyeluruh.
[i] Mitologi “Kotak Pandora” yang dinarasikan secara ringkas di atas bersumber dari versi H. A. Guerber, The Myths of Greece and Rome, G. Harrap & Co, 1907.
[ii] Untuk detailnya, lihat, misalnya, Lambang Triatmodjo, dkk, (Eds), Potret Retak Nusantara. Studi Kasus Koflik di Indonesia, CSPS Books, Yogyakarta, 2004. Untuk kasus yang spesifik, konflik atas sumberdaya, dapat dilihat misalnya dalam, Margaretha Safkaur, Potensi Konflik Pengelolaan Sumberdaya Alam Papua. Studi Tentang Pengoperasian PT. BP LNG Tangguh di Daerah Kepala Burung, Propinsi Papua, Thesis S-2 Program Studi Ilmu Politik, Konsentrasi Politik Lokal dan Otonomi Daerah, UGM, Yogyakarta, 2005.
[iii] Purwo Santoso dan Tri Susdinarjanti, “Konflik dalam Perumusan Kebijakan Publik: Potret Persilangan Kepentingan dalam Menata Peradaban”, dalam Ibid.
[iv] Studi menengai hubungan eksekutif dan legislatif di daerah yang ditandai oleh hubungan konflik dapat dilihat dalam, misalnya, hal ini dapat dilihat dalam Cornelis Lay, Eksekutif dan Legislatif Di Daerah: Penelitian Tentang Potensi Konflik Antara DPRD dan Birokrasi di Daerah, Laporan Penelitian “Riset Unggulan Terpadu VIII”, Fisipol UGM, Yogyakarta, 2002.
[v] Clifford Geertz, Involusi Pertanian: Proses Perubahan Ekologi di Indonesia, terj. S. Supomo, Bhatara Karya Aksara, Jakarta 1976. Diterbitkan untuk Lembaga Penelitian Sosiologi Pedesaan Institut Pertanian Bogor dan Yayasan Obor Jakarta. Sebagai alat analisis dan sekaligus metafora, involusi dipakai Geerzt untuk menggambarkan terjadinya kemacetan pola pertanian yang diungkapkan melalui stagnasi taraf produktivitas di sektor pertanian. Bahkan, terjadi periode kemerosotan produktivitas – antara tahun 1930-an hingga 1968 – yang berimplikasi pada perubahan pola konsumsi dimana proporsi konsumsi beras menurun, dan sebaliknya konsumsi jagung dan umbi-umbian meningkat. Hasil dari proses ini adalah kemiskinan karena kemerosotan produktivitas mengharuskan distribusi nafkah dengan tingkat yang semakin rendah. Ujung ekstrimnya adalah pembagian atau distribusi kemiskinan.
[vi] Involusi yang melampaui kawasan pedesaan-pertanian Jawa dan Bali ini merupakan argumen dasar dalam disertasi Ignas Kleden, The Involution of the Involution Thesis: Clifford Geertz’s Studies on Indonesia Revisited, Disertasi di Faculty of Sociology, University of Bielefeld, Jerman, 1994.

;;