Wajah Ikasmuma…

Alumni dan Alumni
Diantara banyak pilihan…

Sebagai sebuah masalah klasik dalam sebuah organisasi berlabel “Ikatan Keluarga”, ambiguitas antara organisasi sebagai wadah silaturahmi kekeluargaan dan sebagai wadah berproses bersama secara profesional tak pernah selesai diperdebatkan. Ambiguitas ini sering kali menjadi penyebab utama tidak berjalannya sebuah organisasi, tak terkecuali pada dinamika yang berlangsung di Ikasmuma.
Sebagian alumni, mungkin memiliki persepsi bahwa peran Ikasmuma cukuplah sekedar memfasilitasi terjaganya komunikasi, silaturahmi dan ikatan persaudaraan antar alumni yang telah ada (walau semu). Dalam persepsi ini, tentu saja Ikasmuma tidak perlu melakukan langkah-langkah yang mungkin akan terkesan berlebihan dilakukan oleh sekelompok orang yang masih berstatus mahasiswa. Di kalangan alumni yang notabene saat ini sebagian besar berstatus mahasiswa, persoalan di atas diperparah dengan munculnya konteks-konteks baru, munculnya pilihan-pilihan baru yang memang lumrah dihadapi mahasiswa. Sebut saja ketika seorang putra terbaik Labuhan Batu dengan selamat lahir dari rahim sebuah institusi berlabel SMA unggulan, maka kemudian dia akan dihadapkan pada tantangan baru untuk menembus PTN/PTS/lembaga tinggi lain yang terbaik yang mampu digapainya. Dan ketika dia berhasil melalui fase ini, dia dihadapkan lagi pada tantangan-tantangan baru untuk berproses sebagai mahasiswa. Dia harus memilih beragam pilihan aktifitas selain tugas utamanya menuntut ilmu sesuai pilihannya. Dan sangatlah wajar kiranya, diantara beragam pilihan itu, kepedulian untuk membesarkan nama Ikasmuma tentulah menjadi alternatif terakhir. Dan prioritas untuk berkiprah melanjutkan nafas Ikasmuma semakin berkurang seiring beragam persoalan baru yang harus dihadapi mahasiswa selanjutnya, sebut saja misalnya tantangan untuk cepat lulus, mencari pekerjaan sampai usaha mencari pasangan hidup. Sekiranya seperti inilah mental seluruh alumni yang ada, maka hilangnya Ikasmuma dalam ingatan kita tentulah tinggal menunggu hari saja.
Sebagian alumni yang lain mengkin berharap (bermimpi) agak berlebihan pada kemajuan Ikasmuma. Mereka selalu berusaha membangun Ikasmuma yang memiliki fondasi profesionalisme, komitmen kuat dan konsistensi. Dalam prosesnya, mereka selalu mengupayakan Ikasmuma yang memiliki struktur yang tegas dan profesional, memiliki program-program yang konkret dan benar-benar mengena pada tujuan mulianya seperti “mencerdaskan kehidupan bangsa”, atau dengan jargon-jargon khasnya untuk “memperjuangkan pembebasan terhadap kebodohan, kemiskinan dan ketidakadilan”. Untuk merealisasikan mimpi ini tentu saja membutuhkan pengorbanan dalam batasan yang sering kali tak mampu mereka bayangkan, hingga sering pula mengorbankan tujuan utama lain yang mestinya mereka capai. Terlepas dari kecintaannya yang terlalu dalam pada almameter asal dimana mereka dibesarkan, atau sebagai sebuah bentuk kepeduliannya pada nasib kampung halaman Labuhan Batu, proses yang terjadi terkadang terkesan kurang proporsional.
Tidak cukup dengan dua karakteristik yang sering berlawanan ini, ada banyak fenomena lain yang sering mewarnai dinamika perjalanan Ikasmuma. Ada alumni yang ternyata tidak siap menerima perbedaan dalam dunia baru yang dia masuki, ketidaksiapan ini sering melahirkan keadaan depresi atau stress yang berlebihan pada dirinya, kemudian semakin akut dengan munculnya sikap egois, individual dan ketidakpedulian (apatis). Ada juga yang masih terhanyut dengan romantika masa remaja layaknya ABG, padahal dia mestinya sudah berhadapan pada tuntutan untuk belajar lebih banyak, berfikir dan bertindak dengan lebih arif dan bijaksana, berproses menuju kedewasaan. Sebagian yang lain mengalami euphoria yang berlebihan atas prestasi yang telah diraihnya, sehingga dia lupa siapa yang membesarkannya dan darimana dia berasal. Penyakit yang satu ini sering mengakibatkan semakin kerdilnya hati dan pikiran mereka yang mengalami, seperti katak dalam tempurung, dia selalu bangga akan kehebatannya tanpa pernah bertanya apa yang telah dan akan diperbuatnya pada dunia. Seperti kacang lupa kulitnya, dia juga lupa tanggung jawab dan beban moral yang mestinya dia pikul bersama sahabat dan saudaranya yang lain. Dan seperti pungguk merindukan bulan, diapun menanti saat yang tepat untuk berbuat pada dunia, sampai ajalnya tiba.
Dari beragam karakteristik alumni yang sering muncul seperti di atas, seringkali memunculkan potensi konflik yang justru berujung pada pecahnya kebersamaan alumni itu sendiri. Persoalannya bukanlah pada siapa yang benar dan siapa yang salah, tapi sejauh mana perbedaan yang ada itu tidak sampai mengerucut menjadi potensi-potensi konflik yang dapat memecah kebersamaan kita. Kalau saja semua dari kita memiliki kesadaran untuk dapat ikhlas dan tulus berkorban, untuk bisa menerima perbedaan, untuk bisa menghargai apa yang telah dilakukan orang lain, untuk bisa mengakui dan belajar dari kelebihan orang lain, untuk mau memberi apa yang kita punya, untuk mau mengajari dan mengingatkan orang lain, untuk bisa memahami dan merasakan indahnya kebersamaan, persahabatan dan persaudaraan, tentulah akan lahir sebuah kebersamaan, minimal dalam wadah ikatan alumni yang indah dan harmonis.
Ironis sekali akhirnya ketika alumni-alumni yang lahir dari sebuah institusi pendidikan terbaik di Labuhan Batu justru terpecah-pecah sesuai ego dan kepentingannya masing-masing, justru saling menyalahkan, mencela, bahkan memusuhi saudaranya sendiri.
Padahal, dari enam angkatan yang telah diluluskan institusi ini dan tersebar di banyak PTN/PTS favorit, bahkan banyak pula yang berhasil menembus institusi kedinasan seperti STPDN, AKPOL dan lembaga pendidikan tinggi lainnya sesungguhnya adalah sebuah potensi yang sangat besar untuk membangun bangsa ini, minimal membangun kampung halaman Labuhan Batu tercinta.
Mungkin sulit memang untuk bisa menyatukan kekuatan ini. Tapi paling tidak, dengan semangat yang suci dan ikhlas, dengan kemauan untuk berbuat lebih dan berkorban, maka suatu hari kelak pasti akan lahir kesadaran dan tanggungjawab kolektif untuk bersama membesarkan Ikasmuma, yang dengannya pasti akan muncul kekuatan yang sangat besar untuk memperbaiki kompleksitas persoalan bangsa ini.
Mari kita wujudkan mimpi-mimpi ini dengan membangun kesadaran pada diri kita masing-masing, setelah itu baru kita pantas mengucap, InsyaAllah…

0 komentar: