Ortodoksi Negara
Pengantar
Dibagian pertama tulisan ini masih mencoba untuk mendiskusikan persoalan kebijakan sebagai suatu ortodoksi, sebuah mainstrem yang mapan. Kebijakan, oleh para penulisnya, dimaknai sebagai prosedur yang dilaksanakan oleh agen berfikir yang bekerja secara rasional dan komprehensif. Agen kebijakan, dalam hal ini aparat, bekerja atas nama negara. Diskusi di bagian ini diawali oleh tulisan Hendrie Adji Kusworo dan Janianton Damanik tentang peningkatan n-Ach dari aparatur birokrasi. Tulisan kedua yang dipaparkan oleh Ambar Teguh Sulistiyani membincangkan tentang pengaruh dari setting besar global dalam perkotaan, sehingga setting kebijakan tatakota menjadi sedemikian penting. Diskusi dibagian pertama ini kemudian ditutup oleh Ana Nadhya Abrar yang mempertanyakan kembali keperpihakan pemerintah dan komunikasi dalam sebuah kebijakan.
Kebijakan publik oleh penulis dibaca dalam lingkar otoritas negara, persoalan yang muncul selama ini disebabkan oleh kompetensi aparat yang tidak memadai atau juga karena pilihan agenda setting yang kurang tepat. Dalam tulisan ke-1 yang mengkritisi kebijakan kepariwisataan, selama ini kurang optimalnya pengembangan kepariwisataan disebabkan rendahnya kompetensi dari aparatur negara yang menangani serta minimnya lembaga formal yang diciptakan pemerintah. Pelatihan kepada aparatur menjadi sebuah keharusan untuk meningkatkan semangat untuk berprestasi, untuk meningkatkan pariwisata. Tersedianya lembaga formal dan aparat yang berkompeten akan dapat melancarkan agenda kebijakan yang telah dibuat.
Persoalan tataruang kota yang tentu membawa implikasi sosial menjadi tanggung jawab pemerintah juga untuk mengaturnya. Yang terpenting untuk dipahami, bahwa selama ini problem-problem perkotaan justru timbul dari kebijakan yang kurang relevan dan memiliki pengaruh yang sangat besar pada tatanan sosial, ekonomi maupun politik. Begitu juga dengan persoalan perburuhan yang sebagian justru tidak akomodatif terhadap buruh, pemerintah lebih berpihak kepada aspirasi pengusaha daripada buruh. Kepekaan terhadap persoalan buruh selama ini justru terhalang oleh organisasi buruh yang justru dibentuk pemerintah sendiri. Sekali lagi negara perlu melakukan evaluasi pada kebijakanya, sebuah tahap dalam proses linear selanjutnya yang biasa dilakukan.
Dari ketiga tulisan tersirat jelas bahwa pemerintah bisa menjadi sumber solusi atau juga sumber masalah pada kebijakan publik. Dalam konteks ini pemerintah menjadi aktor utama pada proses-proses penentuan kebijakan, yang tentunya akan membawa konsekuensi tersendiri, baik atau buruk. Negara yang didalamnya terdiri oleh agen berfikir yang rasional dan mampu menjalankan prosedur secara komprehensif tentu diharapkan mampu menyelesaikan segala persoalan. Pesan dari ketiga tulisan ini adalah, seharusnya dilakukan evaluasi kebijakan sesuai dengan tahapan prosedur yang harus dilakukan, berulang dan lebih sensitif dalam membuat agenda setting kebijakan.

0 komentar: