Kotak Pandora dan Involusi Politik
Alkisah, pada masa penciptaan, setelah memenuhi bumi dengan tumbuhan dan makhluk hidup, Eros, salah satu dewa Yunani merasa perlu untuk membekali makhluk ciptaannya dengan instink agar mereka bisa melindungi dan menikmati kehidupan. Prometheus dan Epimetheus, dua bersaudara anak termuda dewa Lapetus, diminta Eros membantunya mewujudkan hal di atas. Eros menugaskan mereka untuk melakukan dua hal: membagi-bagikan hadiah pada makhluk ciptaan para dewa sehingga mereka dapat melindungi dan menikmati hidup yang telah diberikan; dan menciptakan makhluk yang lebih unggul dibandingkan dengan makhluk-makhluk ciptaan lainnya yang telah ada. Untuk tugas yang kedua ini, Prometheus dan Epimetheus berhasil membuat sebuah bentuk dari tanah liat yang menyerupai gambar para dewa. Makhluk gambaran dewa ini kemudian oleh Eros diberi “nafas kehidupan”, sementara Minerva, dewa lainnya, memberikan “jiwa”. Makhluk ini akhirnya dieja sebagai manusia -- makhluk yang sejak dini diniatkan untuk menguasai dan berada di atas makhluk ciptaan lainnya.
Untuk tugas yang pertama, setelah berbagai hadiah yang memungkinkan makhluk ciptaan yang ada bisa melindungi diri dan menikmati kehidupan sudah dibagi-bagikan kepada makhluk ciptaan, Prometheus dan Epitheus baru menyadari bahwa tidak ada lagi “hadiah” yang tersisa untuk diberikan pada makhluk manusia yang baru diciptakan. Prometheus, terus bergelut dengan pemikirannya untuk menemukan sesuatu yang bisa diberikan pada manusia – sesuatu yang memungkinkan mereka menjadi “tuan” atas makhluk-makhluk ciptaan lainnya; sesuatu yang memungkinkan mereka mendekati kesempurnaan makhluk abadi: dewa. Ia akhirnya sadar bahwa “api” akan menjadi hadiah yang tak ternilai harga. “Kekayaan berupa api ini” akan menempatkan manusia berada di atas segala makhluk lainnya. Penguasaan atas api menjadi dasar pembeda antara manusia dan makhluk ciptaan lainnya.
Tetapi gagasan Prometheus dihadapkan pada kenyataan api adalah harta eksklusif milik para dewa yang tidak mungkin dibagikan dan tidak akan diberikan secara sukarela oleh para dewa kepada makhluk manusia karena juga menjadi harta pembeda antara para dewa dengan makhluk ciptaannya. Karenanya jalan yang tersedia bagi dia adalah mengambil api tanpa sepengetahuan para dewa. Sekalipun menyadari resiko yang ditimbulkan untuk mengambil api dengan mencuri, Prometheus telah berketetapan hati untuk mendapatkannya lewat pintu belakang, apapun resikonya, guna memberikan kepada manusia hadiah yang menyimpan kekuasaan sangat istimewa – api -- yang memungkinkan manusia mencapai tingkat kesempurnaan hampir setara dengan para dewa.
Promotheus akhirnya berhasil mendapatkan api lewat jalan belakang dan memberikannya pada manusia, sekalipun akhirnya ia harus menghadapi sebuah hukuman tak tertanggungkan yang dijatuhkan Yupiter, raja para dewa yang bersemayam di pucuk gunung Oplympus. Ia menemukan dirinya dalam siksaan abadi di kawasan pegunungan Kaukus, hingga akhirnya, Hercules, anak Jupiter dan Alcmene membebaskannya.
Jupiter, tidak hanya menghukum Prometheus, tapi juga manusia karena telah berani menerima api nirwana. Tapi rencana awal untuk menghukum manusia dengan kekuatan api – lewat petir -- dibatalkan karena dapat menghanguskan bukan bumi tempat manusian dan makhluk lainnya hidup, tapi juga nirwana tempat para dewa bersemayam. Karenanya, dengan tetap menggenggam keinginan kuat untuk memberikan hukuman bagi manusia, Jupiter meminta persetujuan para dewa untuk menciptakan “perempuan” bagi manusia sebagai hukumman. Akhirnya lewat kerja kolektif dengan menyertakan semua kemampuan para dewa, seorang perempuan yang sempurna, yang akhirnya disepakati diberi nama Pandora tercipta. Pandora, dikirimkan kepada Prometheus yang menolak menerimanya karena sangat yakin tak ada hal baik yang diberikan para dewa bagi dirinya setelah apa yang dilakukannya. Tetapi saudaranya, Epimetheus, berpikiran sebaliknya: Pandora diterima sebagai pasangan dan mereka hidup dengan bahagianya pada hari-hari awal pertemuan.
Di tengah-tengah keduanya sedang menikmati kebahagiaan dengan berdansa, muncul Mercury, utusan Jupiter yang sedang memanggul sebuah kotak besar. Sebuah kotak yang sudah diingatkan Jupiter tidak boleh dibuka. Kotak ini, segera saja memicu rasa ingin tahu Pandora. Karenanya, ketika Mercury meminta bantuan keduanya untuk menjaga sementara kotak yang ada, kata sepakat dengan segera diperolehnya.
Daya pikat kotak ini sedemikian kuatnya, membuat Pandora, untuk pertama kalinya menolak ajakan pasangannya untuk bergabung dengan para sahabat mereka dalam pesta yang meriah. Dorongan ingin tahu akhirnya membawa Pandora secara diam-diam membuka kunci pengaman, dan ia mendengar suara bisikan yang terus berualang: “Pandora, dear Pandora, have pity upon us! Free us from this gloomy prison! Open, open, we besech you!”. Degup jantung Pandora bertambah cepat; tapi ia langsung menyadari ada suara langkah yang sangat dikenalnya: langkah sang pasangan Epimetheus. Ia sangat tahu bahwa sang pasangan akan kembali memintanya untuk bergabung dengan para sahabat dalam pesta yang sedang digelar. Karenanya, pada saat paling akhir, Pandora memutuskan untuk mengintip ke dalam kotak yang ada: Ia membuka penutup kotak dan dengan segera sejumlah makhluk kecil jahat bersayap coklat berhamburan keluar mengenai dirinya dan sang pasangan, terus berhamburan melalui pintu dan jendela yang terbuka, menjangkau para sahabat, dan terus menyebar dengan cepatnya ke berbagai kawasan. Ternyata, makhluk-makhluk yang bertebaran adalah penyakit, kesedihan, kejahatan dan berbagai jenis tingkah laku imoral (vices). Begitu tersentuh makhluk-makhluk yang ada, untuk pertama-kali Pandora dan Epimetheus merasakan sensasi dari rasa sakit dan amarah; sensasi yang belum pernah dirasakan sebelumnya. Sesaat setelah makhluk-makhluk kecil itu pergi, untuk pertama-kalinya mereka bertengkar. Dunia indah-damai yang mereka kenal sebelumnya, kini hilang entah kemana.
Tetapi di tengah-tengah pertengkaran pertama di atas, mereka mendengar suara sayup-sayup rintihan penuh belas kasihan dari dalam kotak yang sama: “Open, open, and I will heal your wounds! Please let me out!”. Keduanya saling berpandangan dan setelah mendengar kembali keluhan yang sama, Epimetheus memerintahkan pasangannya untuk kembali membuka kotak yang ada. Pandora menurut, dan untuk kedua kalinya kotak dibuka: dan keluarlah “harapan” dari dalamnya yang segera menyaput kesakitan dan kemarahan yang dialami keduanya. Harapan akhirnya, menjadi kekuatan yang senantiasa mengekori kemanapun perginya “makhluk kecil jahat bersayap coklat”: keduanya menjadi kekuatan-kekuatan yang hadir bersisihan dalam kehidupan manusia.[i]
Mitologi Kotak Pandora di atas, mungkin bisa dijadikan sebagai metafora – sekalipun tidak sepenuhnya bisa menggambarkan realitas perkembangan Indonesia karena dunia ideal sebelum dibukanya Pandora tidak dikenal dalam sejarah masa lalu Indonesia-- untuk menggambarkan realitas perkembangan Indonesia dalam tahun-tahun awal era Reformasi ini. Pandora adalah Reformasi, yang membuka kotak – selubung otoritarianisme Orba – yang menahun. Pembukaan selubung Otoritarianisme Orba telah membawa ke permukaan semua kebobrokan yang terpendam sangat dalam dan terbungkus sangat rapih di lahan politik Orde Baru selama lebih dari 32 tahun. Semua kebobrokan yang pernah dikenal peradaban politik umat manusia kini berhamburan dengan sangat cepat ke permukaan menjangkau sembarang orang, sembarang kawasan, bahkan sembarang sektor kehidupan masyarakat Indonesia. Kisah perluasan secara cepat korupsi yang pemberitaannya menteror akal dan hati nurani kita dalam beberapa tahun ini, terutama dalam beberapa bulan terakhir ini adalah bentuk kongkrit dari penyebaran “makhluk kecil jahat bersayap coklat”. Pendalaman dan penyebaran korupsi secara geografis ke daerah-daerah seiring dengan tercabiknya selimut sentralisasi untuk digantikan dengan desentralisasi sudah memunculkan pandangan sinis mengenai “desentralisasi KKN”. Sinisme ini ditopang secara sangat sempurna oleh berbagai data penyelah-gunaan kekuasaan di tingkat lokal yang antara lain diekspresikan oleh meluasnya apa yang disebut “korupsi berjamaah” di banyak daerah. Sementara penyebarannya ke ranah dan sektor lain di luar kawasan klasiknya, yakni negara – birokrasi --, seiring dengan terjadinya pergeseran locus politik dari birokrasi ke parpol (parlemen) telah berakibat pada meluasnya kekecewaan dan ketidak percayaan publik atas lembaga-lembaga demokrasi. Gugatan dan sinisme yang terus meluas atas peran negatif parpol dan parlemen sudah menjadi kisah setiap hari yang kita dengar yang dikukuhkan oleh berbagai survei. Kisah “korupsi berjamaah” ala KPU – jika ini terbukti tentunya – sekadar mengamini kisah terdahulu yang berlangsung di lingkaran political society yang ditandai oleh perlombaan para wakil rakyat ke bui-bui negara. Kisah korupsi KPU hanya memperluas spektrum KKN, dari birokrasi (sipil dan militer) yang selalu disembunyikan selama Orba, merambah terus ke kawasan economic society – kisah dramatis yang melibatkan lebih dari 650 triliun rupiah dalam kasus kredit perbankan --, ke political society – kasus anggota dewan dan para eksekutif asal parpol atau yang didukung parpol – dan kini mulai menjangkau simbolisasi civil society – KPU yang basis keanggotaannya berasal dari perguruan tinggi dan aktivis LSM, setelah sebelumnya kasus koordinator Gowa, Farid Faqih.
Sementara konflik di berbagai arena, dengan berbagai sebab terus menjadi kisah tak terurus hingga hari ini.[ii] Hubungan konflik yang serius antara negara dan masyarakat dan bahkan antara sesama aktor negara di ranah kebijakan publik[iii] mengalami pendalaman dan perluasan hingga menjangkau daerah-daerah yang ditandai oleh muncul dan meluasnya konflik antara eksekutif dan legislatif[iv].
Kisah “makhluk kecil jahat bersayap coklat” masih bisa dideretkan hingga menjangkau bilangan tak terhingga: mulai dari aneka penyakit, termasuk polio yang sudah dinyatakan masa lalu, bencana lepas bencana – termasuk busung lapar yang kini mendominasi pemberitaan publik -- yang hampir tak masuk dalam akal sehat kita – lebih dari 150 orang mati sia-sia tertimbun kotoran dan mungkin merupakan satusatunya kisah paling ajaib dalam sepanjang sejarah peradaban --, dan meluasnya perilaku amoral dalam masyarakat adalah sejumlah contoh kecil dari dibukanya kotak oleh Pandora – kotak otoritarianisme oleh kekuatan reformasi.
Yang tampaknya tersisa dalam tujuh tahun terakhir ini, adalah tak sama halnya dengan Pandora dan Epimetheus, kita tidak sempat mendengar lamat-lamat suara lain dari balik selubung otoritarianisme yang sudah tertutup kembali. Kita tak mendengar suara “harapan” yang terus merintih – kita tak pernah belajar dari pengalaman Orba. Karenanya, kita – tak seperti halnya Pandora dan sang pasangan Epimetheus – selimut Orba tak kita sibak lagi untuk yang kedua kali yang – sebagaimana kisah Pandora – bisa membebaskan “harapan” sebagai kekuatan lain yang terus memburu – sekalipun senantiasa terlambat di belakangnya – kemanapun perginya penyakit, kejahatan, tingkah-laku immoral, dan sebagainya -- makhluk kecil jahat bersayap coklat .
Kita menyaksikan setiap hari kesibukan diri masing-masing: warga lapisan atas partai saling bertengkar diikuti disintegrasi antara elit parpol dan warganya di akar rumputnya, mengungkapkan disintegrasi yang sangat serius pada level political society. Civil society juga terjebak pada proses disintegrasi dan pelemahan diri yang terus berlanjut. Intervensi berbagai variabel, mulai dari kekerasan hingga politik primordial ke lahan civil society berujung pada tercabik-cabiknya ranah ini. Hal ini membuat investasi maha besar ke arah penguatan civil society lebih banyak berakhir sebagai proyek ketimbang sesuatu yang sungguh-sungguh bermanfaat bagi tujuannya sendiri. Publik secara keseluruhan lebih memusatkan energinya pada apa yang nampak di depan mata mereka, apa yang terjadi hari ini. Hal ini semakin diperburuk oleh daya ingatan kolektif publik yang begitu singkatnya. Akibatnya, negara dan economic society yang begitu benderang sebagai sumber malapetaka bangsa di masa lalu karena watak-watak koruptif, kolutif dan nepotistiknya, kini justru dipercaya bertindak sebagai juri bagi penyimpangan dunia political society dan civil society. Ekspos tentang watak setan political society dan civil society yang sedemikian dramatis dalam beberapa saat terakhir ini, membikin apa yang dikerjakan negara dan economic society terhapus dengan mudah dari ingatan sejarah khalayak ramai Indonesia. Kita hampir-hampir tak mendengar dunia birokrasi dan dunia usaha kita terjerembab ke dalam sel dan bui-bui negara. Kalaupun ada, begitu minornya. Yang ada justru gelegar suara makian ke political society dan political society: dua entitas yang baru saja bisa tumbuh setelah sangat lama tenggelam dalam penindasan otoritarianisme Orba. Lebih dari itu, kasus-kasus yang bermunculan telah membawa persepsi publik pada keyakinan: institusi-institusi dan mekanisme demokrasi – parpol, parlemen, KPU, dan sebagainya – adalah kata lain dari omong kosong yang harus dikubur sekarang ini juga. Kesemuanya adalah “makhluk kecil jahat bersayap coklat”.
Merosotnya secara dramatis kepercayaan pada lembaga-lembaga dan sekaligus mekanisme demokrasi – parpol, pemilu dan parlemen, berikut aneka raut civil society lainnya -- pada fase yang sedemikian infant-nya, menjadi investasi negatif bagi proyek sejarah bagi Indonesia masa depan: sebuah Indonesia yang demokratis, berkemakmuran, berkeadilan dan berkeadaban. Pada fase inilah, penulis teringat pada penggambaran Geerzt[v] yang suram mengenai petani Jawa dan Bali yang terjebak dalam involusi tanpa kesudahan. Pengalaman tahun-tahun awal transisi kita mengungkapkan, lebih luas dari yang digambarkan Geertz, Indonesia sedang mengahadapi involusi di sembarang sektor dan di sembarang ruang di republik ini.[vi] Dan hasilnya pun sangat nyata, “kemiskinan” dan “distribusi kemiskinan” di berbagai sektor. Di ranah politik, ia menjadi kemiskinan politik.
Buku ini adalah buku tentang keterjebakan, tentang keterpenjaraan, tentang involusi Indonesia dalam tahun-tahun pertama Reformasi. Bab-bab yang disajikan dalam tulisan ini adalah makalah-makalah yang disampaikan penulis di berbagai kesempatan diskusi atau seminar – kecuali Bab 2 -- antara tahun 1998 hingga 2000. Masing-masing bab menggambarkan persoalan yang dihadapi pada periode penulisan makalah serta perkiraan ke depan berdasarkan argumentasi dan informasi yang tersedia hingga saat makalah dipresentasikan. Secara sengaja naskah dalam buku disajikan sebagaimana naskah aslinya dengan sedikit pengecualiaan, yakni penambahan pada sejumlah bagian yang bersumber pada catatan-catatan penulis ketika menjawab pertanyaan pada sesi diskusi yang berlangsung pada masing-masing kegiatan seminar/diskusi. Terdapat juga satu bab yang merupakan penggabungan dari dua makalah yang disampaikan pada dua kegiatan yang berbeda, yakni bab 6. Penggabungan dilakukan karena substansi yang dibicarakan berhimpitan, dan bahkan merupakan sekuens yang berkaitan antara satu dengan yang lain. Perubahan besar yang akan dirasakan pembaca, terutama bagi yang pernah membaca makalah-makalah aslinya – kecuali untuk bab 2 yang sudah dipublikasikan lewat Prisma No. 4, April-Mei, 1997, adalah pada catatan kaki dan penambahan box ilustrasi.
Kebanyakan makalah penulis untuk kepentingan seminar melalaikan penyertaan catatan kaki, baik yang diperlukan sebagai referensi maupun yang diperuntukkan bagi penegasan konteks. Menyadari kelemahan di atas, penulis memutuskan untuk menambahkan catatan kaki guna memudahkan pembaca dalam merujuk karya lainnya, maupun dalam memahami dari sebuah argumen.
Buku ini dibagi ke dalam empat (4) bagian besar, pertama, Catatan Pembuka, yang terdiri dari dua (2) bab, masing-masing Kisah Kotak Pandora dan Involusi Politik; dan Jalan Politik Yang Tersumbat: Rekruitmen Elit Menjelang Jatuhnya Soeharto. Bagian Kedua, Meretas Jalan Perubahan, yang terdiri dari lima (5) bab, masing-masing, Perubahan Konstitusi; Pemilu; Moratorium Politik; Modal, Pemodal dan Demokrasi; dan Kebebasan Informasi dan Demokrasi. Bagian ketiga, Yang Berubah, terdiri dari dua (2) bab, yakni Konfigurasi Politik Pasca Soeharto: Peta Awal dan Perubahan dan Pergeseran. Bagian Penutup, Agenda yang Tertinggal, terdiri dari satu (1) bab, Korupsi, Kolusi dan Nepotisme.
Bagian Pertama, Bab 2 merupakan karya penulis yang sudah diterbitkan dalam Prisma No. 4, April-Mei, 1997 yang menyoroti proses rekruitmen elit di Indonesia beberapa tahun sebelum Orba runtuh. Penyertaan tulisan ini penulis anggap penting guna memberikan gambaran bahwa proses keruntuhan Orba bukan peristiwa satu malam. Persoalan-persoalan serius yang bercorak struktural sudah kronis jauh sebelumnya, dan dengannya, reformasi dapat dibaca sebagai momentum mengungkapan secara massif – pembukaan kotak Pandora -- persoalan struktural yang sudah sangat mendalam dalam tubuh sistem sosial Indonesia secara keseluruhan. Dan karenanya, dapat banyak menjelaskan keawetan dari proses involusi politik itu sendiri.
Bagian Kedua dimulai dengan bab 3 mengenai perubahan konstitusi, urgensi, serta substansi perubahan itu sendiri. Amandemen UUD 1945 dipandang penting sebagai syarat untuk memfasilitasi proses transformasi dari liberalisasi politik menuju ke arah demokratisasi. Lebih jauh, diskusi dikerucutkan pada komparasi tentang HAM dan hak-hak politik warga negara serta gagasan-gagasan mengenai konstitusi modern-demokratis dalam bingkai perubahan konstitusi. Perspektif komparatif digunakan untuk memberikan gambaran bagi Indonesia bahwa realitas ideal yang dipraktekkan oleh banyak negara modern di dunia telah membuktikan pentingnya sebuah konstitusi modern yang demokratis. Bab ini dilanjutkan dengan bab 4 yang memberikan penggambaran mengenai sentralitas Pemilu sebagai mekanisme mendasar ke arah demokrasi. Juga digambarkan secara cepat persoalan-persoalan lapangan dan aturan main dengan sejumlah kemungkinannya. Misalnya, persoalan di sekitar masih efektif bekerjanya struktur otoritarian dan oligarkhis di tingkat daerah, peran lembaga money politics, kondisi psikopolitik masyarakat, bekerjanya logika komunal dan politik angka, dan sebagainya yang potensial untuk melahirkan sejumlah masalah yang menghambat berjalannya proses transisi yang sedang berjalan.
Pada bab 5 dalam bagian ini didiskusikan mengenai moratorium politik. Dalam bab ini dielaborasi sejumlah agenda solusi sebagai akibat terjadinya distorsi proses reformasi. Tumbuh dan membiaknya secara tak terduga mutual distrust di kalangan elit politik dan pengelompokan politik sebagai sebuah wabah politik, merupakan salah satu sumber terjadinya distorsi reformasi. Akibatnya, fenomena disintegrasi elit politik sipil meluas dengan sangat cepat yang mengindikasikan terjadinya keretakan sangat serius dalam dunia political society. Persoalan kedua adalah pada penekanan berlebihan para elit dan pengelompokan politik pada usaha-usaha “perjuangan kekuasaan” sebagai substansi dari politik. Hal ini diperburuk oleh asumsi bahwa periode transisi merupakan persoalan mati-hidup dari diri dan kelompok masing-masing yang membikin setiap elit dan kelompok. Konsekuensi lebih lanjut, dan sekaligus sebagai akibat dari akumulasi pengalaman dan pengetahuan selama 32 Orba, pengunaan energi kekerasan dan anarkhi dipahami bukan saja sebagai solusi yang absah secara politis dan moral, tapi sekaligus diandaikan sebagai energi satu-satunya yang tertinggal. Agenda utama yang harus disusun kedepan adalah: pewajaran peristiwa politik, pembangunan kembali rasa saling percaya lintas elit, dan penghindaran pengunaan kekerasan.
Pembicaraan dalam Bagian Kedua ini dilanjutkan dengan bab 6 tentang bagaimana mempersiapkan masa depan ekonomi Indonesia dari sudut pandang politik, khususnya mengenai bagaimana peran sejarah pelaku dunia usaha di masa krisis menjelang pemilu 1999. Diskusi diawali dengan catatan reflektif atas praktek-praktek politik dan ekonomi selama Orde Baru. Perbincangan selanjutnya dalam bab ini lebih diintensifkan pada bagaimana dan apa peran pelaku dunia usaha dalam masa transisi ini, dengan titik perhatian pada syarat-syarat perubahan perilaku kapital yang diperlukan untuk menopang terbentuknya sistem politik demokratis yang stabil dan langgeng. Kekuatan modal harus memutar halauan dengan tidak memihak negara, melainkan melakukan investasi ke lahan politik dengan jalan mengalihkan sistem alokasi investasi sosial politiknya bagi investasi demokrasi.
Bagian kedua ditutup dengan bab 7 yang menguak sentralitas dari ”kebebasan informasi” dan ”hak masyarakat untuk mendapatkan informasi”. Bercermin pada pengalaman AS dan juga pengalaman Indonesia selama Orba, bab ini memberikan aksentuasi pada premis bahwa substansi dari pergulatan media massa bukanlah pada perjuangan untuk mendapatkan kemerdekaan dan kebebasan bagi dirinya, tapi justru terletak pada perjuangan untuk mendapatkan kebebasan informasi dan hak rakyat untuk mendapatkan informasi dan mengemukakan pendapat.
Dua Bab pada bagian ketiga, Yang Berubah, mencoba untuk memberikan gambaran awal mengenai perubahan peta kekuatan politik pasca kejatuhan Soeharto meski masih dalam konfigurasi politik yang premature (bab 8) dan mengelaborasi perubahan-perubahan politik mendasar yang terjadi selepas runtuhnya kekuasaan Soeharto (bab 9). Misalnya, terjadinya pergeseran secara drastis locus politik Indonesia dari birokrasi sipil dan militer ke arah sistem politik yang dikendalikan partai politik, yang mengakibatkan dominasi pendekatan state centered dengan intra-bureaucratic analisis dalam memahami Indonesia memudar. Pergeseran juga diungkapkan lewat kemunculan Islam sebagai kekuatan politik pokok yang menguasai struktur politik formal dan implikasinya baik ke dalam maupun keluar politik Islam itu sendiri.
Bagian Akhir buku ini, memuat satu bab yang mengelaborasi KKN sebagai persoalan super serius yang dihadapi Indonesia, berikut limitasinya didiskusikan dalam bagian ini. Beberapa perspektif untuk memahami gejala KKN. Apakah ia merupakan akibat negatif dari sebuah kesalahan pengelolaan kekuasaan? Apakah KKN merupakan ketidakabnormalan yang bekerja dalam satu sistem yang normal? KKN sering dikaitkan dengan kesalahan manajemen politik dan pemerintahan, kegagalan hukum memfasilitasi pemerintahan yang bersih, ketidak-normalan sistem remunerasi pejabat publik. Ada juga yang mereduksi KKN sebagai fenomena individual yang tidak punya relasi logis dengan struktur kekuasaan dan lepas dari kaitannya dengan isu hukum yang tak berdaya. Penulis sendiri berpendapat bahwa KKN, pertama, merupakan substansi pengelolaan politik selama Orba, “way of doing politics”. Pada level pemerintahan negara, KKN adalah the way of running government. Kedua, disamping politics of stick, bangunan politik Orba mampu tegak lama karena ditopang kapasitasnya menjalankan politics of carrot yang efektif dimana KKN embeded di dalamnya. Sebagai sebuah metode politik, KKN memiliki mekanisme proteksi diri, misalnya, melalui “kerumitannya” guna melindungi diri dari kemungkinan elemen subversif, seperti etika, moral. Penyudahan KKN membutuhkan perubahan secara total sistem yang dibangun untuk digantikan sesuatu yang baru dengan syarat, substansi persoalan harus mampu tersentuh. Perubahan pemerintahan harus diikuti penataan fundamental berbagai aspek penyelenggaraan negara, terutama reformasi birokrasi secara menyeluruh.
[i] Mitologi “Kotak Pandora” yang dinarasikan secara ringkas di atas bersumber dari versi H. A. Guerber, The Myths of Greece and Rome, G. Harrap & Co, 1907.
[ii] Untuk detailnya, lihat, misalnya, Lambang Triatmodjo, dkk, (Eds), Potret Retak Nusantara. Studi Kasus Koflik di Indonesia, CSPS Books, Yogyakarta, 2004. Untuk kasus yang spesifik, konflik atas sumberdaya, dapat dilihat misalnya dalam, Margaretha Safkaur, Potensi Konflik Pengelolaan Sumberdaya Alam Papua. Studi Tentang Pengoperasian PT. BP LNG Tangguh di Daerah Kepala Burung, Propinsi Papua, Thesis S-2 Program Studi Ilmu Politik, Konsentrasi Politik Lokal dan Otonomi Daerah, UGM, Yogyakarta, 2005.
[iii] Purwo Santoso dan Tri Susdinarjanti, “Konflik dalam Perumusan Kebijakan Publik: Potret Persilangan Kepentingan dalam Menata Peradaban”, dalam Ibid.
[iv] Studi menengai hubungan eksekutif dan legislatif di daerah yang ditandai oleh hubungan konflik dapat dilihat dalam, misalnya, hal ini dapat dilihat dalam Cornelis Lay, Eksekutif dan Legislatif Di Daerah: Penelitian Tentang Potensi Konflik Antara DPRD dan Birokrasi di Daerah, Laporan Penelitian “Riset Unggulan Terpadu VIII”, Fisipol UGM, Yogyakarta, 2002.
[v] Clifford Geertz, Involusi Pertanian: Proses Perubahan Ekologi di Indonesia, terj. S. Supomo, Bhatara Karya Aksara, Jakarta 1976. Diterbitkan untuk Lembaga Penelitian Sosiologi Pedesaan Institut Pertanian Bogor dan Yayasan Obor Jakarta. Sebagai alat analisis dan sekaligus metafora, involusi dipakai Geerzt untuk menggambarkan terjadinya kemacetan pola pertanian yang diungkapkan melalui stagnasi taraf produktivitas di sektor pertanian. Bahkan, terjadi periode kemerosotan produktivitas – antara tahun 1930-an hingga 1968 – yang berimplikasi pada perubahan pola konsumsi dimana proporsi konsumsi beras menurun, dan sebaliknya konsumsi jagung dan umbi-umbian meningkat. Hasil dari proses ini adalah kemiskinan karena kemerosotan produktivitas mengharuskan distribusi nafkah dengan tingkat yang semakin rendah. Ujung ekstrimnya adalah pembagian atau distribusi kemiskinan.
[vi] Involusi yang melampaui kawasan pedesaan-pertanian Jawa dan Bali ini merupakan argumen dasar dalam disertasi Ignas Kleden, The Involution of the Involution Thesis: Clifford Geertz’s Studies on Indonesia Revisited, Disertasi di Faculty of Sociology, University of Bielefeld, Jerman, 1994.